beritax.id – Gelombang protes publik yang menolak kenaikan tunjangan DPR sempat memaksa parlemen mengambil langkah korektif. Namun koreksi itu berhenti di permukaan. Setelah tunjangan dibatalkan, tuntutan utama massa pengesahan RUU Perampasan Aset (UU PA) tidak langsung dipenuhi. DPR hanya memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2026, tanpa kepastian waktu pembahasan dan pengesahan.
Langkah ini memunculkan pertanyaan serius: apakah negara benar-benar ingin menghadirkan keadilan, atau sekadar meredam kemarahan publik sambil menjaga kepentingan kekuasaan tetap aman?
RUU Perampasan Aset: Janji Lama yang Terus Ditunda
RUU Perampasan Aset bukan isu baru. Regulasi ini sejak lama dipandang sebagai instrumen penting untuk memiskinkan pelaku korupsi dan mengembalikan kerugian negara. Namun setiap kali tekanan publik mereda, pembahasannya ikut melambat.
Memasukkan UU PA ke Prolegnas tanpa komitmen waktu jelas memperkuat kesan bahwa pemerintah dan DPR tidak benar-benar berniat menuntaskan agenda pemberantasan korupsi. Bagi publik, ini bukan kemajuan, melainkan pengulangan pola lama.
Penundaan pengesahan UU PA dipandang luas sebagai strategi penguluran waktu (stalling). Ketika protes menguat, tuntutan diakomodasi secara administratif. Namun substansi kebijakan yang berpotensi mengancam kepentingan pejabat justru dijauhkan dari keputusan nyata.
Dengan cara ini, pemerintah dan DPR seolah mengatakan “kami mendengar”, tetapi tidak benar-benar “bertindak”. Strategi ini mungkin efektif meredam tekanan jangka pendek, tetapi justru memperdalam krisis kepercayaan jangka panjang.
Keadilan Ditunda, Kekuasaan Diamankan
Penundaan UU PA menunjukkan kontras yang tajam:
kebijakan yang menguntungkan pejabat dapat dibahas dan diputuskan cepat,
sementara regulasi yang menyasar kejahatan korupsi selalu membutuhkan “waktu tambahan”.
Ketika keadilan ditunda atas nama prosedur, yang sebenarnya dilindungi adalah kenyamanan kekuasaan. Publik membaca ini sebagai sinyal bahwa sistem hukum masih berpihak pada mereka yang punya pengaruh, bukan pada kepentingan rakyat luas.
Dampak Langsung bagi Publik
Bagi masyarakat, penundaan ini bukan soal teknis legislasi. Ini soal keadilan yang terus menjauh. Selama UU Perampasan Aset tak kunjung disahkan:
- hasil kejahatan korupsi sulit dipulihkan,
- hukuman bagi koruptor terasa tidak menjerakan,
- dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum terus menurun.
Setiap hari penundaan adalah pesan implisit bahwa kepentingan masih lebih kuat daripada keadilan substantif.
Solusi: Hentikan Penguluran, Tegakkan Komitmen
Untuk membuktikan bahwa negara berpihak pada keadilan, bukan sekadar stabilitas kekuasaan, langkah-langkah berikut harus segera dilakukan:
- Tetapkan jadwal pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset yang mengikat
Bukan sekadar masuk Prolegnas, tetapi dengan tenggat waktu jelas. - Buka proses legislasi ke publik secara transparan
Agar publik dapat mengawasi dan mencegah pelemahan substansi. - Pastikan UU PA dirancang kuat dan tidak kompromistis
Tanpa celah yang melindungi pelaku kejahatan keuangan dan pemerintahan. - Hentikan praktik meredam protes dengan janji prosedural
Respons terhadap aspirasi publik harus diwujudkan dalam keputusan nyata. - Tegaskan kembali bahwa hukum adalah alat keadilan, bukan pelindung kekuasaan
Tanpa itu, legitimasi negara akan terus terkikis.
Memasukkan UU Perampasan Aset ke Prolegnas bukanlah kemenangan publik, melainkan ujian niat kekuasaan. Selama pengesahannya terus ditunda, publik akan terus membaca satu pesan yang sama: revisi hukum dilakukan untuk menjaga kekuasaan, bukan untuk menghadirkan keadilan.
Jika negara ingin memulihkan kepercayaan rakyat, jawabannya sederhana berhenti menunda, dan mulai menegakkan keadilan secara nyata.



