beritax.id – Ada sesuatu yang aneh dalam sistem hukum kita. Sebuah lembaga baru, bernama Badan Gizi Nasional (BGN), tiba-tiba lahir lewat Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024. Sekilas terlihat sah-sah saja. Presiden memang punya wewenang membuat Perpres.
Tapi ketika ditelusuri lebih dalam, ternyata ada lubang besar dalam dasar hukumnya.
Lubang yang membuat keberadaan BGN jadi pertanyaan serius: Apakah kita sedang menyaksikan bentuk baru dari “penjajahan regulasi”?
Hierarki Hukum di Indonesia
Dalam sistem hukum kita, setiap aturan punya tempat dalam tangga hierarki yang jelas:
- UUD 1945 – sumber dari segala hukum, tertinggi di atas semuanya.
- TAP MPR – menetapkan arah dan kebijakan dasar negara.
- Undang-undang atau Peraturan perundang-undangan alias UU / Perppu dibuat bersama DPR dan Presiden.
- Peraturan Pemerintah (PP) dibuat Presiden untuk menjalankan UU.
- Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur hal-hal teknis, melaksanakan PP atau UU.
- Perda Provinsi dan Kab/Kota untuk mengatur urusan daerah.
Logikanya sederhana:
Aturan yang lebih rendah harus bersandar pada aturan yang lebih tinggi. Tidak boleh ada peraturan yang muncul tanpa dasar hukum dari atasnya.
Tapi BGN “Melompat Tangga”
Masalah muncul di sini.
Perpres No. 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional dibuat tanpa ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang menjadi dasar.
Artinya, pembentukan BGN langsung melompat dari UUD ke Perpres, melewati dua tangga penting UU dan PP.
Padahal Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sudah jelas mengatur urutan itu.
Dengan kata lain, BGN lahir dari jalur pintas hukum. Bukan lewat mandat undang-undang, tapi lewat keputusan sepihak eksekutif.
Bukti Lompat Hierarki
Mari kita lihat susunan hukumnya:
- UUD 1945
Hanya menggunakan pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Seolah hanya memanfaatkan kekuasaan presiden untuk membuat regulasi BGN ini. - TAP MPR
(kami belum menemukan yang relevan untuk urusan gizi) - UU yang seharusnya jadi dasar:
- UU No. 18/2012 tentang Pangan
- UU No. 17/2023 tentang Kesehatan
Keduanya tidak dijadikan rujukan dalam Perpres 83/2024.
- PP terkait pangan dan kesehatan pun juga tidak ada yang disebut sebagai dasar
- Langsung → Perpres No. 83/2024
Jadi, secara hukum, Perpres ini berdiri ngambang di udara.
Tidak ada “jembatan” legal yang menghubungkannya dengan undang-undang maupun peraturan pemerintah di atasnya.
Mengapa Ini Berbahaya
Sekilas, mungkin terlihat sepele: “Ah, cuma lembaga baru soal gizi.” Tapi dalam sistem hukum, ini preseden serius.
Ketika Presiden bisa membuat lembaga baru tanpa dasar UU, maka kewenangan legislatif (DPR) terpinggirkan. Inilah yang disebut para ahli sebagai bentuk penjajahan regulasi yaitu ketika kekuasaan eksekutif memperluas wilayah hukumnya tanpa izin dari konstitusi.
Lebih berbahaya lagi, tindakan seperti ini bisa membuka jalan bagi lembaga-lembaga baru lain yang juga “lahir tanpa dasar.”
Hari ini mungkin soal gizi. Besok bisa soal ekonomi, sosial, bahkan keamanan.
Celah yang Tak Bisa Disentuh Hukum
Biasanya, jika ada aturan bermasalah, kita bisa mengujinya lewat judicial review (JR):
- Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
- Mahkamah Agung (MA) berwenang menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Tapi dalam kasus BGN, JR jadi sulit dilakukan.
Kenapa?
Karena Perpres ini tidak punya “undang-undang induk” untuk dibandingkan.
- MK tidak bisa memeriksa, karena yang diuji bukan undang-undang terhadap UUD 1945.
- MA pun kesulitan, karena tidak ada peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang yang dijadikan dasar pengujian.
Akibatnya, Perpres ini kebal dari pengawasan hukum formal. Itu seperti membuat aturan di “wilayah abu-abu” hukum tidak bisa disentuh, tapi mengikat semua orang.
Solusi Partai X
Partai X percaya, jalan keluar tidak cukup lewat kritik atau koreksi peraturan satu per satu. Kita butuh pembaruan mendasar pada sistem ketatanegaraan. Itu hanya bisa dicapai lewat Amandemen UUD 1945 bukan untuk mengulang masa lalu, tapi untuk mengembalikan semangat aslinya bahwa negara ini berdiri dari, oleh, dan untuk rakyat.
Sebelum bicara amandemen, bangsa ini perlu berhenti sejenak dan bermusyawarah dengan akal sehat serta hati yang jernih.
Partai X mengusulkan dibentuknya Musyawarah Kenegarawanan Nasional, sebagai forum kebangsaan yang melampaui kepentingan jangka pendek. Dimana musyawarah ini harus melibatkan empat pilar utama bangsa, Kaum Intelektual, Rohaniawan, Budayawan atau Tokoh Adat, dan TNI-Polri.



