beritax.id – Di banyak daerah, terutama saat bencana atau krisis sosial terjadi, warga berbondong-bondong datang ke kantor pemerintahan: membawa berkas, menyampaikan keluhan, menggantungkan harapan. Rakyat mencari keadilan mulai dari bantuan yang tak sampai, infrastruktur yang rusak, hingga ganti rugi yang tak kunjung dibayarkan.
Namun di sisi lain, sejumlah pejabat justru lebih sibuk memastikan celah anggaran tetap terbuka untuk kepentingan internal. Pergeseran pos belanja dilakukan dengan halus, laporan dibuat seolah sesuai prosedur, sementara kebutuhan rakyat justru terabaikan. Inilah kontras yang membuat judul ini bukan sekadar kritik, tetapi cermin realitas.
Prioritas yang Berjalan Berlawanan Arah
Tuntutan keadilan datang dari rakyat petani yang gagal panen, pedagang yang kehilangan kios, warga yang rumahnya rusak akibat bencana. Mereka ingin kepastian, ingin negara hadir, dan ingin hak mereka diberikan penuh.
Tetapi di meja anggaran, justru terjadi hal sebaliknya.
Beberapa pejabat:
- menggeser dana darurat ke proyek yang tidak mendesak,
- meningkatkan anggaran perjalanan dinas,
- atau menambah pos belanja kegiatan seremonial,
sementara program pemulihan rakyat justru dipotong.
Rakyat mengejar rasa adil. Pejabat mengejar celah administratif. Dua arah yang tidak pernah bertemu.
Bantuan Lambat, Tapi Manuver Anggaran Cepat
Di lapangan, sering kali bantuan untuk warga harus menunggu persetujuan, tanda tangan, bahkan verifikasi berlapis. Sementara pergeseran anggaran yang justru berpotensi merugikan rakyat sering disahkan dalam hitungan hari, bahkan jam.
Rakyat bertanya: mengapa kebutuhan kami harus antre, sementara anggaran pejabat bisa melesat tanpa hambatan?
Pertanyaan itu menggambarkan satu hal: birokrasi lebih takut mengganggu kenyamanan pejabat daripada menunda hak rakyat.
Minim Pengawasan, Celah Jadi Ruang Bermain
Ketika pengawasan publik melemah entah karena minim liputan, tidak ada laporan media, atau transparansi rendah celah anggaran menjadi ruang bermain yang menggiurkan. Belanja barang yang tidak relevan, honorarium tambahan, hingga program yang muncul tiba-tiba dapat disisipkan tanpa banyak pertanyaan.
Rakyat menuntut keadilan karena mereka merasa dirugikan. Pejabat mencari celah anggaran karena mereka tahu ruang abu-abu itu tidak diawasi. Keadilan dan kelicikan tidak akan pernah dapat duduk dalam meja yang sama.
Prayogi R. Saputra: “Keadilan Tidak Akan Lahir Jika Negara Tidak Taat pada Anggarannya Sendiri”
Menanggapi fenomena ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan:
“Tugas negara ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi bagaimana negara bisa melindungi dan melayani, kalau anggarannya saja disusun untuk mencari celah?”
Ia menambahkan bahwa keadilan bagi rakyat tidak hanya lahir dari aturan, tetapi dari komitmen pejabat untuk tidak mempermainkan anggaran publik.
“Keadilan runtuh ketika anggaran dibelokkan. Negara harus kembali ke fungsi dasarnya: hadir untuk rakyat, bukan untuk akal-akalan administrasi.”
Solusi: Tutup Celahnya, Buka Keadilannya
Untuk memastikan rakyat tidak lagi berhadapan dengan sistem yang lebih memihak pejabat daripada warga, Partai X mengusulkan langkah konkret:
- Sistem pengawasan anggaran real-time
Setiap pergeseran anggaran wajib diumumkan kepada publik secara transparan. - Penguncian Dana Kepentingan Rakyat
Program sosial, bantuan bencana, dan layanan dasar tidak boleh dipindahkan tanpa konsultasi publik. - Audit mendalam terhadap belanja pejabat
Termasuk perjalanan dinas, kegiatan seremonial, dan belanja proyek kecil yang rawan dimanipulasi. - Partisipasi masyarakat dalam penyusunan APBD
Rakyat harus tahu apa yang mereka bayar dan apa yang mereka dapatkan. - Penegakan hukum terhadap manipulasi anggaran
Bukan pembinaan, tapi penindakan tegas untuk menghentikan budaya mencari celah. - Pendidikan integritas untuk pejabat daerah
Keadilan hanya mungkin lahir jika integritas menjadi standar, bukan pengecualian.
Penutup: Rakyat Tidak Mencari Celah Mereka Mencari Negara
Ketika rakyat datang menuntut keadilan, mereka tidak meminta kemewahan. Mereka hanya ingin negara hadir sebagaimana mestinya.
Namun selama pejabat terus mencari celah anggaran, selama itu pula rakyat akan merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Negara harus memutus pilihan menanggapi rakyat, atau melindungi celah. Keadilan baru akan lahir ketika negara memilih rakyat



