Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia,
Anggota Majelis Tinggi Partai X,
Wakil Direktur Sekolah Negarawan
beritax.id – Di banyak daerah di Indonesia, kita sedang menyaksikan tragedi ganda yang berjalan pelan tapi pasti: rakyat ditindas, alam ditebas.
Di satu sisi, warga kecil diperas dengan berbagai kewajiban, aturan, dan beban hidup yang kian berat. Di sisi lain, hutan dibabat, sungai dicemari, gunung ditambang habis-habisan. Semua ini dibungkus rapi dalam istilah yang tampak mulia: pembangunan, investasi, pertumbuhan ekonomi.
Namun kalau kita tengok dari dekat, pertanyaannya sederhana tetapi menohok:
pembangunan untuk siapa, dan keuntungan itu sebenarnya mengalir ke mana?
Pemerintah Kuat ke Bawah, Lemah ke Atas
Dalam keseharian, rakyat kecil merasakan pemerintah sebagai kekuasaan yang kuat ke bawah:
- kuat saat menagih pajak dan retribusi,
- kuat saat menertibkan pedagang kecil dan permukiman kumuh,
- kuat saat menindak pelanggaran administratif rakyat kecil yang terlambat mengurus surat.
Tapi ketika kita melihat ke atas, ke arah korporasi besar yang merambah hutan, menggali tambang, menguruk pesisir, tiba-tiba pemerintah berubah watak:
- mendadak lunak,
- mendadak “hati-hati”,
- mendadak sibuk bersembunyi di balik prosedur dan istilah teknis.
Rakyat merasakan kekuasaan sebagai tangan besi, sementara para pemodal besar merasakannya sebagai tangan yang lentur dan bisa diajak bernegosiasi.
Di sinilah makna “rakyat ditindas, alam ditebas” menemukan bentuk konkretnya: pemerintah tampak tegas pada mereka yang lemah, dan ragu-ragu pada mereka yang kuat.
Alam yang Ditebas adalah Masa Depan yang Dirampas
Ketika hutan ditebas, yang hilang bukan hanya pohon. Yang ikut hilang adalah:
- sumber air yang menghidupi sawah dan ladang,
- pelindung alamiah dari banjir dan longsor,
- ruang hidup satwa,
- serta benteng ekologis yang menopang iklim lokal.
Akibatnya, desa-desa di hilir menjadi langganan banjir bandang. Longsor datang tanpa aba-aba. Kekeringan tiba di musim yang tak semestinya.
Rakyat yang tidak pernah ikut menandatangani izin tambang dan konsesi hutan, justru menjadi pihak pertama yang harus menanggung risiko.
Di sinilah penindasan bekerja dengan cara yang lebih halus dan struktural.
Rakyat tidak selalu dipukul secara langsung; mereka dibiarkan tinggal di wilayah yang makin tidak aman, dipaksa bertahan dalam ekonomi yang rapuh karena tanah, air, dan udara yang menopang hidup mereka perlahan-lahan dirusak.
Dan semua ini bukan kebetulan. Ia adalah konsekuensi dari serangkaian keputusan politik dan ekonomi:
- keputusan mengubah status kawasan hutan,
- keputusan memberi karpet merah pada pemilik modal,
- keputusan menutup mata pada laporan kerusakan lingkungan.
Ketika Pemerintah Lupa bahwa Alam adalah Titipan
Cak Nun sering mengingatkan bahwa alam semesta adalah titipan Tuhan, bukan komoditas yang boleh dihabiskan seenaknya. Manusia, apalagi pemegang kekuasaan, tidak sedang menjadi pemilik tunggal bumi; kita hanyalah pengelola yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Tidak hanya oleh Tuhan, tetapi juga oleh anak cucu kita sendiri.
Namun dalam praktik kekuasaan, kesadaran ini seolah hilang.
Logika yang dipakai sederhana: selama ada celah untuk mengubah hutan menjadi uang, pesisir menjadi properti, gunung menjadi bahan tambang, maka itu akan dilakukan. Soal dampak jangka panjang untuk generasi berikutnya, diserahkan pada “nanti saja”.
Di situ letak tragedinya:
- jangka pendek didewakan, jangka panjang dikhianati;
- keuntungan segelintir dirayakan, kerugian berjuta orang dinormalkan.
Padahal, jika pemerintah sungguh-sungguh menempatkan dirinya sebagai penjaga titipan, bukan sekadar operator bisnis dan kekuasaan, maka setiap keputusan yang menyangkut alam akan dilihat dari dua sudut sekaligus:
- Apakah ini adil bagi rakyat hari ini?
- Apakah ini aman dan pantas bagi anak cucu besok?
Tanpa dua pertanyaan itu, setiap izin baru yang diteken, setiap proyek yang diresmikan, berpotensi menjadi legalisasi perampasan masa depan.
Rakyat Kehilangan Ruang, Kekuasaan Menguasai Narasi
Penindasan hari ini tidak selalu datang dalam bentuk kekerasan fisik. Ia sering datang dalam bentuk:
- pengurangan ruang hidup: tanah-tanah adat yang tiba-tiba masuk konsesi, kampung yang digusur demi infrastruktur, nelayan yang kehilangan akses ke laut karena kawasan pesisir dikapling.
- pembungkaman narasi: kalau rakyat protes, mereka mudah sekali diberi cap anti-investasi, anti-pembangunan, atau tidak mengerti “kepentingan nasional”.
- pemutusan generasi: anak-anak muda di desa kehilangan alasan untuk bertahan karena alam yang mestinya bisa jadi sumber hidup sudah dikuasai pihak lain.
Sementara itu, narasi resmi negara dan korporasi terus mengulang:
- ini untuk kesejahteraan,
- ini untuk lapangan kerja,
- ini sudah sesuai prosedur.
Padahal rakyat yang terdampak jarang sekali benar-benar diajak bicara sebagai subjek. Suara mereka menjadi sekadar formalitas konsultasi publik, bukan bahan utama pengambilan keputusan.
Itulah mengapa, ketika alam ditebas dan rakyat kehilangan tanah, yang terasa bukan sekadar kerugian ekonomi, tetapi juga penghilangan martabat dan identitas.
Dari Moralitas ke Politik Kebijakan
Kalimat “rakyat ditindas, alam ditebas” bukan hanya slogan emosional; ia adalah diagnosa moral dan politik.
Secara moral, bangsa ini sedang diuji:
- apakah kita rela menutup mata melihat generasi hari ini dan generasi esok saling dipertukarkan dengan angka-angka pertumbuhan yang semu?
- apakah kita sanggup mengaku bahwa sebagian pembangunan yang kita banggakan dibangun di atas air mata mereka yang dipinggirkan?
Secara politik, diagnosa ini menuntut jawaban yang jauh melampaui program jangka pendek:
- penataan ulang tata ruang yang benar-benar berorientasi pada keseimbangan ekologis, bukan semata pada nilai jual lahan.
- perombakan serius tata kelola sumber daya alam, termasuk transparansi izin, audit independen, dan sanksi yang sungguh-sungguh bagi pelanggar.
- penguatan posisi rakyat—petani, nelayan, masyarakat adat, warga lokal—sebagai aktor utama yang punya hak veto moral terhadap kebijakan yang mengancam ruang hidup mereka.
Tanpa langkah-langkah itu, kita hanya akan terus memperindah kata-kata, sementara praktiknya tetap: rakyat ditindas, alam ditebas.
Menagih Keberanian Pemerintah untuk Berpihak
Pemerintah sering bicara tentang keberpihakan pada rakyat. Tapi keberpihakan itu diuji bukan pada saat upacara dan pidato, melainkan pada saat keputusan sulit diambil:
- ketika harus memilih antara memperpanjang izin tambang dan menyelamatkan sumber air,
- ketika harus memilih antara proyek raksasa dan hutan yang menjadi pelindung puluhan desa,
- ketika harus memilih antara kepentingan pemodal besar dan keselamatan masyarakat kecil di hilir.
Keberanian berpihak bukan sekadar slogan “pro-rakyat”, tapi sikap tegas: bahwa tidak ada keuntungan ekonomi jangka pendek yang boleh dibayar dengan hancurnya alam dan masa depan generasi.
Kalau negara gagal menunjukkan keberanian itu, maka yang bekerja bukan lagi negara sebagai rumah bersama, melainkan pemerintah sebagai mesin kepentingan. Dan di situlah, sekali lagi, rakyat akan terus ditindas dan alam akan terus ditebas.
Penutup: Jangan Wariskan Negeri yang Pincang
Pada akhirnya, pertanyaan yang paling jujur dan paling berat adalah ini:
Negeri seperti apa yang ingin kita wariskan kepada anak cucu?
Apakah negeri dengan:
- gunung yang tinggal nama,
- sungai yang tinggal saluran banjir,
- laut yang penuh limbah,
- dan rakyat yang terbiasa pasrah karena tahu bahwa di hadapan kekuasaan, suara mereka hanya jadi derau?
Atau negeri di mana:
- alam diperlakukan sebagai sahabat dan titipan,
- rakyat dihormati sebagai pemilik sah kedaulatan,
- dan pemerintah benar-benar menjadi pelayan, bukan penguasa?
“Rakyat ditindas, alam ditebas” seharusnya tidak kita terima sebagai nasib, apalagi sebagai harga yang wajar untuk pembangunan.
Kalimat itu mestinya kita pakai sebagai alarm keras: tanda bahwa ada yang sangat salah dalam cara kita mengurus bumi dan mengurus bangsa.
Jika kita diam, kita ikut menjadi bagian dari penindasan itu.
Jika kita bersuara dan mengubah cara berpikir serta cara bernegara, masih ada harapan bahwa suatu hari nanti, judul itu bisa kita balik:
rakyat dimuliakan, alam dijaga.



