beritax.id — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melakukan inspeksi mendadak ke Kantor PT Bank Mandiri (Persero) Tbk pada 6 Oktober 2025. Dalam unggahan akun TikTok pribadinya, Purbaya terlihat didampingi Chief Investment Officer Danantara, Pandu Sjahrir. Kunjungan ini disebut sebagai langkah memastikan penyaluran dana pemerintah sebesar Rp55 triliun berjalan efektif. Purbaya menyebut 70 persen dana itu telah terserap sebagai kredit masyarakat, terutama untuk sektor properti dan otomotif.
“Stimulus saya akan jalan di ekonomi,” tegasnya dengan optimisme tinggi.
Namun di balik semangat optimisme tersebut, publik menilai sidak ini tak cukup berhenti di ruang rapat atau laporan media sosial. Bagi rakyat, yang dibutuhkan bukan sekadar angka penyerapan kredit, melainkan dampak nyata bagi kesejahteraan ekonomi mereka. Sebab, banyak UMKM masih kesulitan mendapatkan akses modal dan perbankan masih lebih berpihak kepada konglomerat.
Partai X: Negara Bukan Sekadar Penonton
Menanggapi hal ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengingatkan kembali hakikat tugas negara. “Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat,” ujarnya. Menurut Rinto, sidak menteri seharusnya bukan hanya formalitas, tetapi harus berujung pada kebijakan yang berpihak pada rakyat. “Kalau hasil sidak cuma laporan angka, lalu rakyat tetap susah dapat kredit, ya untuk apa?” tegasnya.
Partai X menilai pemerintah sering kali terjebak pada narasi performatif, bukan hasil substantif. Kegiatan sidak menjadi tontonan kekuasaan, bukan alat evaluasi kebijakan ekonomi. Padahal, menurut prinsip Partai X, pemerintah hanyalah sebagian kecil rakyat yang diberi kewenangan untuk bekerja efektif, efisien, dan transparan demi kesejahteraan seluruh rakyat.
Kritik: Jangan Ulangi Kesalahan Struktural
Partai X menyoroti ketimpangan struktural antara kebijakan ekonomi makro dan kondisi rakyat di lapangan. Banyak program pemerintah berhenti pada penyaluran dana tanpa pengawasan mendalam terhadap penerima manfaat. “Pemerintah jangan merasa sudah berhasil hanya karena dana terserap 70 persen. Pertanyaannya, siapa yang menikmati 70 persen itu? Rakyat atau korporasi besar?” ujar Rinto.
Dalam pandangan Partai X, tindakan pemerintah seharusnya mencerminkan semangat kedaulatan ekonomi rakyat. Negara tidak boleh hanya menjadi fasilitator modal bagi bank besar, tetapi harus memastikan modal tersebut benar-benar mengalir ke sektor produktif rakyat, terutama UMKM, petani, dan nelayan. Kebijakan ekonomi tanpa pemerataan hanya melahirkan ketimpangan baru dan memperlebar jurang sosial.
Solusi Partai X: Dari Sidak ke Reformasi
Berdasarkan prinsip Partai X, solusi terhadap masalah semacam ini memerlukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola pemerintahan dan kebijakan ekonomi. Pertama, perlu adanya reformasi hukum berbasis kepakaran agar kebijakan ekonomi diawasi oleh ahli independen, bukan sekadar birokrat. Kedua, dilakukan transformasi birokrasi digital di sektor keuangan publik untuk memastikan setiap rupiah yang disalurkan dapat dilacak dan transparan hingga ke penerima manfaat akhir. Ketiga, pemerintah harus mengembalikan kedaulatan ekonomi kepada rakyat melalui reformasi struktur perbankan agar kredit murah lebih mudah diakses rakyat.
Partai X juga mendorong dilakukannya Musyawarah Kenegarawanan Nasional antara kaum intelektual, agama, TNI/Polri, dan budaya untuk menata ulang arah kebijakan ekonomi yang lebih berkeadilan. Sebab, bagi Partai X, kesejahteraan bukanlah slogan kekuasaan, melainkan kondisi di mana sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan rakyat terpenuhi dengan layak.
Penutup: Dari Laporan Menuju Perubahan Nyata
Partai X menegaskan, sidak Menteri Keuangan semestinya menjadi momentum untuk memperbaiki sistem, bukan sekadar mencari citra di hadapan publik. “Kalau sidak hanya menghasilkan laporan, rakyat tidak akan merasakan dampak,” kata Rinto. Pemerintah harus memastikan kebijakan fiskal dan moneter bekerja untuk rakyat, bukan untuk angka statistik. Karena bagi Partai X, negara yang kuat adalah negara yang rakyatnya sejahtera bukan negara yang sibuk membuat laporan, tapi lupa mendengar suara rakyatnya.