beritax.id – Pemerintah terus menggaungkan narasi efisiensi anggaran dan percepatan pengambilan keputusan sebagai kunci stabilitas dan pembangunan nasional. Namun di balik jargon efisiensi tersebut, muncul kekhawatiran serius: ruang partisipasi rakyat justru semakin menyempit, dan hak pilih warga dalam menentukan arah kebijakan perlahan tergerus.
Efisiensi yang seharusnya mempermudah pelayanan publik, kini dirasakan sebagian masyarakat sebagai pembenaran untuk memangkas proses demokrasi, dialog publik, dan mekanisme kontrol rakyat terhadap kekuasaan.
Efisiensi yang Mengorbankan Partisipasi
Sejumlah kebijakan strategis belakangan ini dinilai lahir dengan proses yang cepat namun minim pelibatan publik. Diskusi terbatas, konsultasi yang formalistik, hingga keputusan yang diumumkan setelah diketok palu, membuat rakyat hanya menjadi penonton dari kebijakan yang langsung berdampak pada hidup mereka.
Alih-alih memperkuat demokrasi, efisiensi justru berpotensi berubah menjadi alat sentralisasi kekuasaan.
Partisipasi rakyat tidak berhenti pada pemilu lima tahunan. Hak pilih juga mencakup hak untuk didengar, dilibatkan, dan mempengaruhi kebijakan publik. Ketika kebijakan dibuat tanpa ruang dialog yang memadai, maka secara substansi hak pilih rakyat telah dipangkas.
Demokrasi prosedural mungkin tetap berjalan, tetapi demokrasi substantif justru melemah.
Dari Efisiensi ke Penyingkiran Suara Kritis
Narasi efisiensi kerap disandingkan dengan kebutuhan stabilitas. Namun dalam praktiknya, kritik dan aspirasi publik sering kali dianggap sebagai hambatan. Kondisi ini menciptakan iklim politik yang kurang sehat, di mana kecepatan lebih dihargai daripada kehati-hatian, dan kekuasaan lebih dominan dibandingkan kedaulatan rakyat.
Jika dibiarkan, negara berisiko kehilangan legitimasi moral di mata warganya sendiri.
Tanggapan Partai X: Negara Tidak Boleh Mengorbankan Hak Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa efisiensi tidak boleh dijadikan alasan untuk mengurangi hak-hak dasar warga negara.
“Tugas negara itu jelas dan tidak bisa ditawar: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Efisiensi boleh dilakukan, tapi tidak dengan cara menghilangkan hak pilih, suara, dan partisipasi rakyat dalam pengambilan kebijakan,” ujar Rinto.
Menurutnya, negara yang efisien adalah negara yang mampu bekerja cepat tanpa mematikan demokrasi.
Risiko Jangka Panjang bagi Demokrasi
Partai X menilai bahwa pengabaian partisipasi publik demi efisiensi jangka pendek justru akan menciptakan ketidakpercayaan jangka panjang. Ketika rakyat merasa tidak lagi memiliki ruang menentukan nasibnya sendiri, maka jarak antara negara dan warga akan semakin melebar.
Demokrasi yang sehat membutuhkan waktu, dialog, dan keterbukaan—bukan sekadar kecepatan administratif.
Solusi dan Rekomendasi Partai X
Untuk memastikan efisiensi berjalan seiring dengan demokrasi, Partai X merekomendasikan:
- Efisiensi Berbasis Hak Rakyat
Setiap kebijakan efisiensi harus memastikan hak partisipasi publik tetap terlindungi. - Penguatan Mekanisme Konsultasi Publik
Proses pengambilan kebijakan strategis wajib melibatkan masyarakat secara bermakna, bukan sekadar formalitas. - Transparansi dalam Pengambilan Keputusan
Pemerintah harus membuka alasan, data, dan dampak kebijakan secara jujur kepada publik. - Perlindungan terhadap Suara Kritis
Kritik harus diposisikan sebagai masukan untuk perbaikan, bukan gangguan stabilitas. - Penegasan Kembali Mandat Negara
Negara harus kembali pada fungsi utamanya: melindungi hak rakyat, melayani kepentingan publik, dan mengatur dengan adil serta demokratis.
Partai X menegaskan, efisiensi sejati bukanlah tentang memangkas suara rakyat, melainkan tentang memastikan negara bekerja efektif tanpa kehilangan legitimasi demokratisnya. Jika rakyat kehilangan hak pilih dalam proses kebijakan, maka efisiensi itu justru menjadi kemunduran bagi demokrasi Indonesia.



