beritax.id – Polemik dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali menyeruak di ruang publik. Kelompok yang dikenal sebagai Trio RRT, yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa, kembali aktif mendatangi berbagai lembaga mulai dari kampus hingga KPU demi mencari celah untuk memperkuat kecurigaan mereka terhadap dokumen pendidikan Jokowi. Namun hal yang menarik dari fenomena ini bukan hanya substansi tuduhan yang hingga hari ini belum terbukti, melainkan bagaimana isu ini dimanfaatkan dan ke mana arah sorotan publik sebenarnya ditujukan.
Apabila menelaah ulang berbagai analisis dalam dokumen yang dilampirkan, terlihat benang merah yang jelas bahwa polemik ijazah Jokowi telah diarahkan ke institusi yang keliru. Hal ini sekaligus menjadi panggung pengalihan isu dari kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi seleksi serta pertanggungjawabannya.
Pola Isu yang Tidak Alami
Berdasarkan data Enygma Media Analyzer dalam periode 4 Desember 2024 hingga 3 Desember 2025, isu ini terpantau tidak stabil. Pergerakannya naik dan turun seperti pola buatan, bukan merupakan perkembangan organik dari diskursus publik. Isu ini mulai viral pada 16 September 2025 dan mencapai puncak atau peak season pada 7 November 2025.
Lonjakan tajam dalam kurun waktu kurang dari dua bulan menunjukkan bahwa isu ini bukan hanya diperbincangkan, tetapi diproduksi agar viral. Dalam studi komunikasi, pola semacam ini sering muncul ketika terjadi kebutuhan untuk menggeser perhatian publik dari kegagalan tertentu.
Luputnya Sorotan Terhadap Partai Politik
Satu hal yang konsisten dalam dokumen tersebut adalah fakta bahwa tanggung jawab atas dokumen pencalonan Jokowi, termasuk ijazah, bukan berada di kampus ataupun KPU, melainkan sepenuhnya pada partai politik pengusung.
Dalam Pilpres 2014 dan 2019, Jokowi diusung oleh koalisi besar. Pada 2014 pengusungnya meliputi PDIP, PKB, NasDem, dan Hanura. Sedangkan pada 2019 koalisi bertambah dengan masuknya PDIP, Golkar, PKB, NasDem, PPP, Hanura, PKPI, Perindo, dan PSI. Partai politik inilah yang menandatangani berkas, menyerahkan dokumen, dan menjamin keabsahannya.
Secara teori negara hukum, jika muncul keraguan terhadap dokumen seorang calon presiden, pintu pertama yang harus diketuk adalah pintu partai pengusung. Namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Pihak yang dikejar justru pihak kampus, KPU, Komisi Informasi, hingga arsip pendidikan. Sementara itu partai politik yang seharusnya bertanggung jawab justru terlihat tenang layaknya pengamat netral yang tidak terlibat. Di sinilah letak kejanggalannya.
Isu Ijazah Sebagai Perisai Kejahatan Politik
Saat publik terus menerus sibuk memperdebatkan kualitas dokumen seorang presiden yang sudah dua periode menjabat, terdapat dua keuntungan segelintir orang yang terjadi secara simultan. Keuntungan pertama adalah partai politik tidak ditagih akuntabilitasnya. Partai politik merupakan agen perekrut yang bertugas memastikan kelayakan calon. Jika benar ada masalah dalam dokumen, itu berarti partai gagal melakukan verifikasi, uji kelayakan, dan seleksi kandidat. Sayangnya, alih alih diperiksa, partai justru bersembunyi di balik keramaian isu ijazah.
Keuntungan kedua adalah kegagalan partai mengelola negara tidak menjadi sorotan. Ketika partai sibuk berkompetisi kekuasaan, kegagalan mereka mulai dari korupsi, konflik internal, hingga gagalnya membangun kader berkualitas akhirnya tertutup oleh hiruk pikuk isu yang emosional tetapi tidak produktif.
Dalam perspektif lain, isu ijazah diduga adalah pengalih perhatian yang sempurna karena mudah dikonsumsi publik dan memancing emosi tanpa menyentuh akar masalah, yaitu ketidakbecusan partai politik dalam membina pemimpin.
Fenomena Salah Sasaran
Kritik terhadap langkah RRT sangat jelas karena mereka berkeliling ke lembaga yang tidak bertanggung jawab atas dokumen pencalonan Jokowi. Mereka mencari jawaban di tempat yang bukan sumber jawaban.
Dalam analogi tata negara, Presiden ibarat asisten rumah tangga, partai politik adalah agen yang merekomendasikan, dan rakyat adalah pemilik rumah. Maka ketika ada dugaan masalah, pihak pertama yang harus dimintai pertanggungjawaban adalah agen pengusul, bukan sekolah tempat asisten itu dulu belajar.
Namun narasi publik diarahkan untuk menanyakan ke kampus, bukan ke partai. Inilah pola pengalihan isu yang paling halus karena menyamar sebagai upaya pembuktian.
Data Enygma Media Analyzer menunjukkan pembicaraan isu Ijazah Palsu Jokowi selama satu tahun terakhir (4 Desember 2024-3 Desember 2025) terjadi pertama kali pada 16 September 2025 dan puncaknya pada 7 November 2025.
Hal ini memperlihatkan tiga kemungkinan motif kuat mengapa isu ini meledak pada momen tertentu.
Motif pertama adalah distraksi dari kegagalan partai di saat mereka tersandera konflik internal atau kasus korupsi.
Motif kedua yaitu membangun posisi tawar jabatan untuk menekan tokoh tertentu lewat isu viral.
Danj motif ketiga adalah mobilisasi emosi publik untuk agenda tertentu karena isu non teknis lebih mudah menyedot perhatian daripada isu struktural seperti reformasi partai.
Kesimpulan
Jika publik ingin mencari kebenaran, fokus seharusnya bukan pada universitas, KPU, atau arsip, melainkan kepada partai politik pengusung Jokowi. Merekalah yang memeriksa dokumen, menandatangani kelayakan, mengajukan ke KPU, dan memikul tanggung jawab.
Selama isu ini terus digoreng ke arah yang salah, partai akan selalu lolos dari kewajiban akuntabilitasnya. Demokrasi tidak akan maju jika kritiknya salah arah. Isu ijazah hanya akan menjadi siklus sensasi yang menutupi kelemahan struktural partai politik jika kita terus sibuk mengejar bayangan dan tidak menuntut akuntabilitas dari para aktor yang sesungguhnya bertanggung jawab, yakni partai politik.



