beritax.id – Sebuah ironi kembali tersaji dalam dunia perpajakan Indonesia. PT. Hok Tong, salah satu wajib pajak yang mencoba menggunakan hak konstitusionalnya untuk memperoleh informasi publik. Justru dihadapkan pada penolakan dari Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Tingkat I Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Permohonan informasi yang diajukan secara resmi oleh PT. Hok Tong melalui jalur yang telah ditentukan, tidak dijawab sebagaimana mestinya. Melainkan ditolak dengan alasan yang mengundang tanda tanya besar: “informasi tidak dikuasai.”
Permintaan informasi ini berkaitan dengan kejelasan atas syarat formal dokumen Certificate of Domicile (SKD/DGT-1) yang digunakan dalam pengenaan Tax Treaty dengan Singapura. PT. Hok Tong menanyakan dua hal penting: apakah dokumen tersebut wajib dilegalisir, dan apakah dapat menggantikan Bukti Potong (BukPot) dalam pelaporan PPh Pasal 26. Ini bukan pertanyaan remeh, sebab berimplikasi langsung terhadap koreksi pemeriksaan yang dikenakan kepada perusahaan tersebut.
Namun jawaban yang diberikan PPID DJP justru menyarankan agar pemohon tidak menggunakan jalur informasi publik dan menyarankan konsultasi ke kantor pajak. Padahal, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 110 Tahun 2022, PPID memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi yang diminta atau setidaknya meneruskannya ke PPID tingkat bawah yang menguasai informasi tersebut. Dengan kata lain, alasan “tidak menguasai informasi” bukan pembenaran untuk menolak permintaan.
Keengganan PPID menjawab dinilai sebagai bentuk pengabaian tanggung jawab publik. PT. Hok Tong kemudian mengajukan keberatan resmi dan menyebut tanggapan PPID tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf d PMK 110/2022 karena tidak menjawab sebagaimana yang diminta. Bahkan dalam pasal lain, PMK 110 dengan tegas memberikan kewenangan kepada PPID untuk meminta informasi dari unit di bawahnya. Dengan demikian, PPID DJP seharusnya dapat mengupayakan jawaban, bukan menutup pintu dialog secara sepihak.
Komitmen dan Pelayanan Publik
Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen transparansi dan pelayanan publik yang selama ini dideklarasikan instansi perpajakan. Jika pertanyaan sederhana dari Wajib Pajak saja tidak bisa dijawab, lalu bagaimana nasib kepastian hukum dan perlindungan hak Wajib Pajak lainnya?
Kejadian ini juga mencoreng semangat reformasi birokrasi yang menjunjung prinsip akuntabilitas, keterbukaan, dan pelayanan prima. PPID, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyampaikan informasi kepada publik, justru tampak menutup diri. Alih-alih membantu masyarakat, sikap pasif ini hanya memperburuk citra lembaga dan meningkatkan ketidakpercayaan.
PT. Hok Tong kini menunggu tanggapan dari atasan PPID DJP, yakni PPID Kementerian Keuangan. Harapannya sederhana: memperoleh kejelasan atas aturan yang digunakan otoritas pajak untuk memungut hak negara dari rakyat. Sebab keadilan pajak bukan hanya soal membayar tepat waktu, tetapi juga mendapatkan informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika keberatan tidak ditanggapi secara memuaskan, wajib pajak memiliki hak untuk mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP). KIP adalah lembaga independen yang berwenang menyelesaikan sengketa informasi publik. Proses di KIP meliputi mediasi yang bertujuan untuk mencari penyelesaian atas sengketa informasi.
Kurangnya Semangat Keterbukaan Informasi
Kasus PT. Hok Tong adalah peringatan bahwa semangat keterbukaan informasi publik masih menghadapi tantangan di lapangan. Solusi yang efektif memerlukan kombinasi pemahaman hak, langkah-langkah administratif yang terukur, dan keberanian untuk menuntut keadilan. Dengan memastikan PPID memenuhi kewajibannya dan mendorong transparansi di setiap lini birokrasi, kita dapat bersama-sama menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan akuntabel bagi seluruh masyarakat.
Sebagai otoritas lembaga yang berwenang, PPID Kemenkeu Tingkat I seharusnya memiliki akses informasi Bukti Potong (BukPot) PPh Pasal 26 yang diperlukan pemohon. Hal ini krusial untuk memastikan penegakan hukum yang jelas dan tidak simpang siur, demi perlindungan hak masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.
Transparansi bukanlah belas kasihan lembaga publik kepada rakyat. Ia adalah kewajiban. Dan jika kewajiban itu diabaikan, maka kepercayaan publik pun akan ikut hilang bersama akal sehat birokrasi.
Penulis: Fhilipo