beritax.id – Dalam berbagai proyek strategis nasional, penggusuran kerap dibungkus dengan istilah “pembangunan”. Rumah yang diratakan disebut penataan, tanah yang dirampas disebut optimalisasi, dan warga yang kehilangan tempat tinggal diminta memahami situasi sebagai “pengorbanan demi kepentingan bersama”. Penggusuran dinamai pembangunan, sementara penderitaan warga dimaknai sebagai pengorbanan tanpa jaminan keadilan yang nyata.
Di Rempang, Batam, proyek Rempang Eco-City memicu penolakan luas karena relokasi warga dilakukan dengan pendekatan koersif. Warga yang telah puluhan tahun tinggal dan menggantungkan hidup di wilayah tersebut dipaksa pindah demi investasi, dengan kompensasi yang dinilai tidak adil dan proses konsultasi yang minim.
Di Jakarta, penertiban kawasan bantaran sungai kembali dilakukan atas nama pengendalian banjir. Namun pengalaman warga menunjukkan pola lama: penggusuran cepat, hunian pengganti terbatas, dan hilangnya mata pencaharian. Banjir dijadikan alasan, tetapi solusi jangka panjang yang adil jarang diwujudkan.
Di sekitar IKN Nusantara, laporan masyarakat adat dan warga lokal menyebutkan tekanan penguasaan lahan untuk proyek infrastruktur dan properti penunjang. Pembangunan ibu kota baru digadang sebagai simbol masa depan, tetapi bagi sebagian warga, ia hadir sebagai ancaman terhadap ruang hidup hari ini.
Kasus-kasus ini menunjukkan pola yang sama: pembangunan berjalan cepat, perlindungan warga tertinggal jauh.
Pembangunan Tanpa Persetujuan, Pengorbanan Tanpa Pilihan
Masalah utamanya bukan pembangunan itu sendiri, melainkan cara pembangunan dijalankan. Dalam banyak kasus:
- persetujuan warga tidak didapatkan secara bebas dan diinformasikan,
- dialog diganti dengan sosialisasi satu arah,
- kompensasi tidak sebanding dengan kerugian sosial-ekonomi,
- dan aparat hadir lebih dulu daripada solusi.
Ketika warga tidak diberi pilihan selain pergi, maka pengorbanan itu bukan sukarela—ia adalah paksaan yang dilembagakan.
Bahaya Normalisasi Penggusuran
Dengan terus menyebut penggusuran sebagai pembangunan, negara berisiko menormalkan pelanggaran hak dasar: hak atas tempat tinggal, penghidupan, dan rasa aman. Bahasa kebijakan yang halus menutupi dampak kasar di lapangan.
Jika praktik ini dibiarkan, pembangunan akan kehilangan legitimasi sosialnya. Warga tidak lagi melihat proyek negara sebagai jalan menuju kesejahteraan, melainkan sebagai ancaman yang harus dihadapi.
Solusi: Pembangunan yang Memanusiakan
Untuk memastikan pembangunan tidak lagi melahirkan penderitaan, langkah-langkah berikut harus menjadi standar:
- Wajibkan persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC). Pembangunan tidak boleh berjalan tanpa persetujuan nyata dari warga terdampak.
- Hentikan penggusuran paksa dan kriminalisasi penolakan. Perbedaan pendapat adalah hak warga, bukan gangguan keamanan.
- Sediakan hunian pengganti yang layak sebelum relokasi. Dekat dengan sumber penghidupan, fasilitas publik, dan jaringan sosial.
- Hitung kerugian sosial-ekonomi secara adil dan transparan. Kompensasi harus mencakup kehilangan pekerjaan, jaringan komunitas, dan biaya hidup.
- Libatkan warga sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Rencana harus disusun bersama, bukan dipaksakan dari atas.
- Utamakan alternatif pembangunan tanpa penggusuran. Penataan berbasis komunitas harus menjadi pilihan utama.
Pembangunan sejati tidak mengusir warganya dari ruang hidup. Ia seharusnya memperkuat, bukan menghancurkan, fondasi sosial masyarakat. Selama penggusuran terus disebut pembangunan dan penderitaan terus disebut pengorbanan, keadilan akan selalu tertinggal di belakang proyek.
Negara perlu mengubah cara pandang pembangunan bukan tentang seberapa cepat proyek berdiri, tetapi seberapa manusiawi prosesnya. Jika tidak, yang tumbuh bukan kesejahteraan melainkan luka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.



