beritax.id – Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengusulkan agar pemilu dan pilkada tidak lagi diselenggarakan di tahun yang sama. Menurutnya, perlu ada jeda setidaknya satu tahun antara pemilu legislatif dan presiden dengan pilkada. Hal itu ia sampaikan dalam diskusi publik di kawasan Menteng, Jakarta, pada Selasa, 29 April 2025. Rifqi menyebut pemisahan itu untuk memberi ruang kepada penyelenggara agar lebih siap dan sistemnya lebih permanen.
Ia bahkan mengusulkan Pilkada 2030 menjadi tahun pelaksanaan setelah Pemilu 2029. Lebih lanjut, Rifqi juga menyentil pengelolaan dana hibah pilkada yang rawan penyimpangan. Karenanya, ia mendesak pengawasan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bukan hanya internal penyelenggara pemilu.
Senada, Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin menilai Pemilu 2024 sebagai paling rumit sepanjang sejarah republik. Ia menyebut beban penyelenggara sangat berat karena pileg, pilpres, dan pilkada diselenggarakan di tahun yang sama. Afifuddin menegaskan, sistem serentak ini mesti dievaluasi. Namun, ia tidak secara tegas menyetujui pemisahan tahun pelaksanaan sebagai satu-satunya solusi.
Partai X Ingatkan Bahaya Pemisahan yang Abai pada Rakyat
Menanggapi wacana tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X dan Direktur X-Institute, Prayogi R Saputra, mengingatkan agar langkah evaluasi tidak mencederai kedaulatan rakyat. Ia menegaskan bahwa pemilu dan pilkada bukan sekadar urusan teknis, tapi representasi langsung dari kehendak rakyat.
“Jangan remukkan kedaulatan rakyat dengan dalih efisiensi teknis. Pemilu dan pilkada adalah kanal demokrasi rakyat,” tegas Prayogi. Ia menambahkan bahwa tugas pemerintah adalah tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika tugas ini dilupakan, pemisahan justru menjadi alat dominasi, bukan pelayanan demokratis.
Berdasarkan prinsip Partai X, rakyat adalah pemilik negara. Pemerintah hanyalah sebagian kecil rakyat yang diberi mandat menjalankan kebijakan. “Pemisahan waktu pemilu dan pilkada haruslah dikaji dengan kacamata kepentingan rakyat, bukan hanya efisiensi penyelenggara,” terang Prayogi.
Partai X menolak segala bentuk kebijakan yang mempersempit akses rakyat dalam memilih wakil dan pemimpinnya secara langsung. Pemilu dan pilkada adalah dua wajah dari satu tubuh demokrasi. Jika dipisah sembarangan, rakyat bisa kehilangan kendali atas arah perjalanan negara.
Perlu Desain Demokrasi yang Efektif, Efisien, dan Transparan
Partai X menegaskan bahwa penundaan atau pemisahan pemilu dan pilkada bukan solusi bila tidak disertai evaluasi menyeluruh terhadap sistem penyelenggaraan.
“Negara itu bus. Rakyat pemiliknya. Pemerintah cuma sopir. Jangan biarkan sopir seenaknya ubah arah tanpa izin penumpang,” sindir Prayogi, mengutip prinsip analogi negara dari Partai X.
Daripada memisahkan tahun pelaksanaan, Partai X mendorong reformasi sistemik. Yakni melalui digitalisasi birokrasi, penguatan kepemimpinan daerah, dan pendidikan berkelanjutan. “Pemisahan tahun tanpa fondasi jelas hanya akan memunculkan ketimpangan baru,” tutup Prayogi.
Partai X tetap konsisten mengawal kedaulatan rakyat dalam setiap kebijakan pemilu. Karena bagi kami, suara rakyat bukan alat teknis, melainkan sumber sah kekuasaan negara.
Solusi Penyembuhan Bangsa
Penolakan terhadap pemisahan pelaksanaan kebijakan per tahun tanpa fondasi adalah seruan akan perlunya transformasi menyeluruh. Solusi yang ditawarkan Partai X melalui digitalisasi birokrasi dengan Intelligent Operations Platform (IOP)(IOP), perombakan sistem negara, hingga pendidikan politik membentuk kerangka kebijakan yang berkelanjutan, inklusif, dan berorientasi jangka panjang.