beritax.id – Belakangan ini, wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali ramai diperbincangkan. Usulan itu muncul di tengah evaluasi mekanisme Pilkada dan anggapan bahwa biaya Pilkada langsung terlalu tinggi. Pendukung wacana ini menyatakan bahwa penunjukan kepala daerah oleh DPRD dapat “efisien, efektif, dan demokratis” jika dirancang dengan cermat. Namun kritik terhadap ide ini juga kian kuat dari berbagai pihak.
Sistem Pilkada langsung selama ini dianggap sebagai salah satu pilar penting demokrasi lokal karena memberi hak memilih langsung kepada masyarakat.
Usulan untuk mengembalikan Pilkada lewat DPRD dipandang oleh banyak pengamat sebagai potensi kemunduran demokrasi. Karena memindahkan hak memilih dari rakyat langsung ke perwakilan legislatif. Hal ini bisa dipengaruhi oleh dinamika partai dan kepentingan pejabat. Kritikus menilai bahwa penunjukan melalui DPRD tidak menjamin kurangi biaya dan justru berpotensi melahirkan konflik kepentingan dan memperlemah keterlibatan publik.
Respons Publik dan Kekhawatiran Aktivis Demokrasi
Reaksi masyarakat atas usulan ini cukup beragam. Termasuk protes yang muncul ketika wacana perubahan aturan pemilu tampak mengancam ruang partisipasi publik. Penolakan terhadap perubahan batasan calon Pilkada oleh legislatif beberapa waktu lalu menunjukkan bagaimana publik menjaga hak suara mereka. Organisasi dan koalisi pemantau demokrasi juga menilai wacana penunjukan kepala daerah melalui DPRD. Hal ini menunjukkan kurangnya empati pejabat terhadap keinginan rakyat yang menginginkan keterlibatan langsung dalam memilih pemimpin lokal.
Jika sistem Pilkada lewat DPRD benar-benar dijalankan, ada risiko bahwa calon kepala daerah lebih berorientasi pada dukungan di lembaga legislatif ketimbang aspirasi rakyat luas. Hal ini dikhawatirkan melemahkan mekanisme checks and balances serta mempersempit ruang kritik warga terhadap pemimpin lokal yang tanpa legitimasi langsung dari mereka. Proses demokrasi lokal bisa berubah menjadi ruang tawar pejabat partai yang jauh dari persoalan keseharian rakyat.
Demokrasi Lokal Tidak Boleh Diabaikan demi Efisiensi
Memang benar bahwa penyelenggaraan Pilkada langsung tidak terlepas dari persoalan biaya dan kompleksitas, tetapi demokrasi bukan soal efisiensi semata. Hak untuk memilih langsung adalah bentuk paling dasar dari kedaulatan rakyat di daerah sebuah pencapaian penting dalam sejarah demokrasi Indonesia yang tidak boleh diambil begitu saja.
Solusi: Memperkuat Demokrasi Lokal Tanpa Mengorbankan Partisipasi Publik
Daripada mengembalikan Pilkada lewat DPRD sebagai solusi cepat, negara perlu memperbaiki kualitas dan tata kelola Pilkada langsung.
Pertama, reformasi sistem pendanaan Pilkada agar lebih efisien dan transparan perlu didorong, misalnya dengan regulasi pengawasan dana kampanye yang ketat serta dukungan pembiayaan publik yang adil.
Kedua, perlu ada mekanisme pendidikan pemilih dan akses informasi yang lebih baik sehingga masyarakat dapat memilih berdasarkan pengetahuan dan aspirasi mereka sendiri.
Ketiga, pemerintah dan DPR harus melibatkan publik secara luas dan terbuka ketika membahas perubahan sistem pemilihan, termasuk konsultasi dengan komunitas lokal, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.
Keempat, meningkatkan integritas penyelenggara pemilu dan pengawasan independen akan mencegah praktik uang dan memastikan legitimasi hasil pilkada tetap kuat.
Demokrasi lokal akan tetap hidup ketika rakyat memiliki suara nyata dalam memilih pemimpin mereka bukan hanya sebagai formalitas, tetapi sebagai hak yang dihormati dan dilindungi.



