beritax.id – Setiap pergantian isu, pemerintah selalu datang dengan narasi baru. Bencana disebut musibah alam, konflik disebut kesalahpahaman, kebijakan kontroversial disebut demi kepentingan nasional. Narasi-narasi itu disusun rapi, disampaikan berulang, dan diharapkan mampu menenangkan publik.
Namun pemerintah sering lupa satu hal penting publik punya memori. Rakyat mengingat apa yang dijanjikan, apa yang dibantah, dan apa yang akhirnya terjadi. Ketika narasi berubah terlalu cepat, sementara realitas hidup tak kunjung membaik, ingatan publik justru menjadi alat evaluasi paling jujur.
Kasus Demi Kasus: Saat Narasi Bertabrakan dengan Kenyataan
Di Indonesia, benturan antara narasi resmi dan memori publik terjadi berulang kali.
Dalam kasus kenaikan tunjangan DPR, narasi tentang “hak kelembagaan” berhadapan dengan ingatan publik tentang janji efisiensi dan empati terhadap kesulitan ekonomi rakyat. Demonstrasi besar pun pecah, karena warga mengingat siapa yang diminta berhemat dan siapa yang justru menambah fasilitas.
Dalam bencana banjir dan longsor di Sumatra, pemerintah daerah dan pusat kerap menyebut cuaca ekstrem sebagai penyebab utama. Namun publik mengingat pembukaan hutan, izin tambang, dan proyek besar yang terus berjalan tanpa evaluasi lingkungan yang serius.
Dalam kasus harga pangan, narasi stabilitas sering dikumandangkan, tetapi publik mengingat antrean, kenaikan harga berulang, dan janji-janji lama yang tak pernah benar-benar tuntas. Narasi boleh berganti, tetapi memori publik menyimpan pola.
Strategi Komunikasi Tidak Menghapus Jejak Kebijakan
Masalah muncul ketika pemerintah mengandalkan komunikasi untuk menutupi kegagalan kebijakan. Klarifikasi, bantahan, dan pengalihan isu diproduksi cepat, seolah cukup untuk meredam kekecewaan.
Namun publik tidak menilai pemerintah hanya dari kata-kata hari ini. Mereka menilai dari akumulasi keputusan bertahun-tahun. Setiap kebijakan meninggalkan jejak, dan jejak itulah yang diingat.
Di sinilah krisis kepercayaan bermula: bukan karena publik terlalu kritis, tetapi karena pengalaman mereka berulang kali membenarkan keraguan.
Ingatan Publik sebagai Bentuk Akuntabilitas
Dalam demokrasi, memori publik berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial. Ketika lembaga formal gagal memberi koreksi, ingatan kolektif warga menjadi pengingat bahwa kebijakan tidak bisa dilepaskan dari konsekuensinya.
Itulah sebabnya narasi yang tidak disertai perubahan nyata justru berbalik menjadi bumerang. Semakin sering narasi diproduksi tanpa perbaikan, semakin kuat ingatan publik tentang kegagalan.
Solusi: Selaraskan Narasi dengan Tindakan Nyata
Untuk keluar dari jurang ketidakpercayaan, pemerintah perlu mengubah pendekatan, bukan sekadar mengganti cerita:
- Hentikan kebiasaan mengganti narasi tanpa evaluasi kebijakan
Setiap pernyataan publik harus disertai langkah konkret dan indikator keberhasilan. - Akui kesalahan sebagai bagian dari tanggung jawab negara
Pengakuan bukan kelemahan, melainkan dasar perbaikan. - Buka data dan proses pengambilan keputusan ke publik
Transparansi membantu publik menilai dengan adil, bukan dengan kecurigaan. - Jadikan memori publik sebagai bahan evaluasi, bukan ancaman
Protes dan kritik muncul karena pengalaman nyata, bukan karena salah paham semata. - Fokus pada perbaikan kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat
Harga pangan, lingkungan, perumahan, dan layanan dasar harus menjadi prioritas nyata, bukan slogan.
Penutup: Narasi Bisa Dikendalikan, Memori Tidak
Pemerintah mungkin mampu mengatur narasi hari ini, tetapi tidak bisa menghapus ingatan publik tentang apa yang terjadi kemarin. Ketika janji tak ditepati dan kebijakan berulang kali melukai rasa keadilan, memori kolektif rakyat akan terus hidup.
Jika pemerintah ingin dipercaya kembali, caranya bukan dengan memperhalus narasi, melainkan dengan menyelaraskan kata-kata dengan tindakan. Karena pada akhirnya, sejarah kebijakan tidak ditulis oleh pidato, tetapi oleh pengalaman rakyat yang mengingat.



