beritax.id – Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat. Aturan tersebut membuka peluang bagi BUMN, BUMD, dan pemerintah daerah (Pemda) untuk berutang langsung ke pemerintah pusat. Dana pinjaman ini bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana diatur dalam Pasal 8 peraturan tersebut.
Pemda yang ingin meminjam wajib memenuhi sejumlah persyaratan administratif, mulai dari rasio kemampuan keuangan daerah minimal 2,5 hingga persetujuan DPRD saat pembahasan APBD. Pinjaman juga wajib digunakan untuk kegiatan yang selaras dengan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah. Pemerintah menegaskan mekanisme pembayaran utang terdiri atas cicilan pokok, bunga, serta biaya tambahan lain yang akan tercatat sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Risiko Fiskal Daerah dan Beban Rakyat
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan lonjakan beban fiskal daerah dan potensi ketergantungan terhadap pinjaman pusat. Daerah yang tidak mampu mengelola pinjaman berisiko tersandera kewajiban jangka panjang. Apalagi, dalam kondisi ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya pulih, tambahan utang daerah dapat menggerus anggaran publik yang seharusnya digunakan untuk pelayanan dasar dan kesejahteraan warga.
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa tugas negara sejatinya melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Menurutnya, setiap kebijakan fiskal harus berpihak pada kepentingan publik, bukan sekadar memperbesar ruang birokrasi untuk berutang. “Negara tidak boleh menjadikan rakyat sebagai jaminan kebijakan fiskal. Utang daerah, kalau tak dikelola dengan etika dan integritas, hanya akan menjadi jebakan baru bagi kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Kritik Partai X: Negara Bukan Mesin Utang
Partai X menilai kebijakan pinjaman ini berpotensi menggeser fungsi negara dari pelindung rakyat menjadi lembaga kreditur. Dalam prinsip Partai X, pemerintah hanyalah sebagian kecil dari rakyat yang diberi mandat mengelola kebijakan. Mereka bukan pemilik kekuasaan, melainkan pelayan rakyat. Negara harus memastikan kebijakan fiskal dilakukan efektif, efisien, dan transparan, bukan membuka celah penyalahgunaan anggaran.
Partai X menegaskan, utang publik bukan instrumen pembangunan sejati jika tidak diiringi pemerataan manfaat dan keberpihakan terhadap rakyat. Negara seharusnya fokus membangun kemandirian fiskal daerah melalui inovasi ekonomi, efisiensi birokrasi, dan digitalisasi layanan publik, bukan memperluas praktik utang antar lembaga negara.
Solusi Partai X: Kemandirian Daerah dan Reformasi Fiskal
Partai X menawarkan solusi konkret agar kebijakan keuangan negara tidak menjadi beban rakyat:
Pertama, mendorong reformasi hukum dan birokrasi digital untuk menutup celah korupsi serta memastikan pengelolaan keuangan publik lebih akuntabel.
Kedua, memisahkan tegas antara negara dan pemerintah. Agar kepentingan tidak memengaruhi kebijakan fiskal.
Ketiga, melakukan musyawarah kenegarawanan nasional yang melibatkan kaum intelektual, TNI/Polri, tokoh agama, dan budaya guna merumuskan desain ekonomi nasional yang berbasis keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Keempat, mengembalikan kedaulatan fiskal ke tangan rakyat melalui sistem pengawasan publik dan pelaporan terbuka terhadap penggunaan utang daerah.
Partai X menegaskan, negara bukan rezim pemungut utang, melainkan pelindung kesejahteraan rakyat. Jika utang menjadi pilihan terakhir, maka harus dijalankan dengan hikmat kebijaksanaan dan prinsip keadilan sosial, sebagaimana semangat Pancasila yang menjadi dasar perjuangan bangsa.



