Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sebesar 250 persen di Kabupaten Pati tengah menjadi sorotan nasional. Warga menjerit karena tagihan pajak tanah yang melonjak dari Rp 179 ribu menjadi Rp 1,3 juta per tahun. Sebuah angka yang secara signifikan membebani ekonomi rumah tangga kelas bawah.
Bupati Pati, Sadewo, kemudian mencoba melunakannya dengan menyatakan bahwa angka tersebut merupakan batas atas. Sebagian besar wajib pajak hanya dikenai kenaikan antara 50 hingga kurang dari 100 persen. Sadewo sekaligus meminta maaf atas pernyataannya yang dinilai “menantang” warga tepat setelah protes mereda dan setelah pembelaan publik yang intensif muncul.
Janji yang Tak Berjalan Seiring Realita
Presiden Prabowo Subianto pernah berapi-api menyampaikan komitmennya kepada warga kecil dalam sebuah pidato nasional:
“Cita-cita saya adalah melihat wong cilik bisa tersenyum dan tertawa bahagia… kekuasaan itu milik rakyat, kita berkuasa seizin rakyat… pekerjaan kita harus untuk rakyat!”
Kalimat ini merupakan simbol semangat populis pemerintahan, namun ia sulit disinergikan dengan realitas Pati hari ini, di mana rakyat justru terbebani oleh kebijakan fiskal yang memberatkan.
Ungkapan Cak Nun: “Penjajahan oleh Bangsa Sendiri”
Saya teringat dengan sindiran pedas dari budayawan Cak Nun:
“Penjajahan sesungguhnya mulai terjadi sejak 1945, ketika pemerintah sendiri mulai menjajah rakyatnya. Sebelumnya, hubungan antara Sultan dan Belanda (VOC) masih soal kerja sama dagang, bukan eksploitasi.”
Pernyataan ini menampar kita siapa pun yang lupa bahwa kekuasaan harus menjemput keadilan, bukan menjadikannya korban birokrasi.
Penutup: Harapan Menuju Keadilan Fiskal
PBB yang naik 250 persen bukan sekadar soal pendapatan daerah. Ini soal kepercayaan rakyat yang retak, aspirasi wong cilik yang dikebiri, dan konstitusi yang terabaikan. Menurut saya, Presiden Prabowo punya visi untuk membuat rakyat bahagia, Tapi kebijakan pemerintah justru memperlihatkan bahwa semakin tinggi target pajak, semakin jauh rakyat dari kebahagiaan itu.
Saatnya untuk merefleksikan:
Apakah pemerintah masih hadir untuk rakyat, atau sedang mengejar angka tanpa peduli keadilan? Pertanyaan ini harus dijawab dengan kebijakan yang berpihak, bukan dengan retorika kosong.