Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Pemerintah kembali mencatatkan angka utang yang mengejutkan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (2/7/2025), memaparkan bahwa posisi kewajiban pemerintah per akhir tahun 2024, termasuk utang jangka pendek dan panjang, telah mencapai Rp10.269 triliun. Angka ini mempertegas kekhawatiran banyak pihak bahwa negara berada dalam fase salah kelola yang akut, bukan sekadar beban fiskal biasa.
Sebagai pembanding, Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa pinjaman negara tidak boleh menjadi beban rakyat. Ia bahkan menjelaskan, setiap pinjaman luar negeri yang diambil pemerintah era Orde Baru digunakan untuk mendanai proyek produktif seperti pembangunan pabrik pupuk, semen, baja, hingga infrastruktur telekomunikasi. Hasil dari proyek-proyek tersebut, menurut Soeharto, harus cukup untuk membayar utangnya sendiri. Prinsip dasarnya sederhana yaitu utang dibayar dari hasil investasi yang produktif, bukan dari utang baru.
Sayangnya, paradigma itu kini terbalik. Dalam satu dekade terakhir, pemerintah justru mempercepat pembiayaan dengan utang, tetapi tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas proyek atau pengembalian manfaat ekonomi yang memadai. Bahkan, beberapa proyek strategis nasional diduga justru menambah beban fiskal akibat perencanaan yang lemah dan eksekusi yang politis.
Lebih parah lagi, struktur ketatanegaraan yang dominan dikendalikan oleh partai politik membuat kebijakan fiskal kerap diarahkan demi kepentingan elektoral, bukan pembangunan jangka panjang. Dalam sistem presidensial saat ini, presiden yang merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, diusung oleh partai politik atau gabungannya. Konsekuensinya, kebijakan anggaran, termasuk penambahan utang negara, tidak jarang dibuat permainan oleh politisi dan jauh dari transparansi.
Struktur Tata Negara yang Bermasalah
Akar masalah ini bukan hanya pada individu, tetapi pada struktur tata negara yang membuka ruang terlalu besar bagi dominasi partai politik dalam pengelolaan keuangan publik. Ketiadaan penjelasan dalam UUD 1945 pasca-amandemen keempat mengenai batasan kekuasaan presiden, membuat sistem check and balance menjadi lemah. Akibatnya, kewenangan besar dalam pengelolaan anggaran justru digunakan tanpa kontrol substantif dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Oleh karena itu, reformasi tata negara bukan lagi sekadar wacana, tetapi kebutuhan mendesak. Negara perlu membenahi struktur konstitusionalnya agar setiap rupiah utang tidak lagi menjadi warisan beban bagi generasi mendatang. Harus ada desain baru tata kelola kekuasaan yang mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Hal ini dengan sistem pengawasan keuangan negara yang kuat, independen, dan partisipatif.
Budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun pernah menyindir keras situasi ini: “Kekuasaan sekarang ini tidak membangun rumah rakyat, tapi malah menyewa atas nama rakyat. Negara ini kaya, tapi kekayaan itu bocor lewat celah-celah sistem.” Ia menegaskan bahwa reformasi struktural harus dimulai dari fondasi konstitusi agar rakyat tidak terus menjadi korban kebijakan pejabat yang abai.
Jika negara ingin keluar dari jebakan utang dan salah kelola yang sistemik. Revolusi damai dalam bentuk reformasi tata negara adalah jalan satu-satunya. Ini bukan soal membenci kekuasaan, tetapi soal menyelamatkan masa depan republik.