beritax.id – Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menunjukkan kecepatan luar biasa ketika mengambil langkah pemutusan atau pembatasan akses internet. Dengan dalih keamanan, ketertiban, atau stabilitas, keputusan tersebut bisa diambil dalam hitungan jam. Namun, kecepatan yang sama nyaris tak terlihat ketika rakyat menyampaikan aspirasi, keluhan, dan tuntutan keadilan yang sudah berlarut-larut.
Fenomena ini kembali relevan di tengah berbagai ketegangan sosial, konflik keamanan, serta gelombang protes publik terhadap kebijakan negara.
Internet Diputus, Informasi Ikut Terputus
Pemutusan internet kerap dibenarkan sebagai upaya mencegah penyebaran hoaks dan provokasi. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini justru memutus akses warga terhadap informasi penting, layanan darurat, pendidikan, dan komunikasi keluarga. Di wilayah-wilayah yang mengalami konflik atau operasi keamanan, pemadaman internet membuat situasi warga semakin rentan dan terisolasi.
Ironisnya, di saat akses informasi dibatasi, narasi resmi negara justru menjadi satu-satunya sumber cerita yang beredar.
Konteks Aktual: Stabilitas Didahulukan, Aspirasi Ditinggalkan
Di berbagai isu nasional terkini mulai dari konflik keamanan di wilayah tertentu, protes kebijakan ekonomi, hingga penolakan masyarakat terhadap proyek strategis keluhan warga sering kali tidak mendapat respons memadai. Dialog publik tersendat, mekanisme partisipasi terasa formalitas, dan aspirasi masyarakat mengendap tanpa kejelasan tindak lanjut.
Sebaliknya, ketika situasi dianggap “mengganggu stabilitas”, instrumen kontrol seperti pembatasan internet dapat segera dijalankan.
Dampak Sosial: Kepercayaan Publik Kian Erosi
Pemutusan internet bukan sekadar persoalan teknis, melainkan simbol relasi kuasa antara negara dan warga. Ketika negara lebih cepat memutus koneksi daripada membuka ruang dialog, pesan yang diterima publik jelas: kontrol lebih diutamakan daripada mendengar.
Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi negara terus menurun, sementara rasa keterasingan warga semakin dalam.
Dalam era digital, internet adalah ruang publik utama. Memutus internet sama artinya dengan menutup alun-alun tempat warga berkumpul, berdiskusi, dan menyampaikan pendapat. Demokrasi tidak bisa berjalan secara sehat jika ruang partisipasi dimatikan setiap kali muncul ketidaknyamanan.
Keamanan yang dibangun dengan cara membungkam justru berpotensi melahirkan ketegangan baru.
Solusi: Sambungkan Dialog, Bukan Sekadar Jaringan
Untuk memperbaiki relasi negara dan warga, langkah-langkah berikut perlu diprioritaskan:
- Menjadikan pemutusan internet sebagai opsi terakhir dan terbatas
Pembatasan akses harus berbasis hukum ketat, proporsional, dan transparan. - Memperkuat mekanisme dialog dan partisipasi publik
Aspirasi warga harus ditanggapi cepat, terbuka, dan substantif. - Menjamin akses informasi di wilayah rentan
Dalam situasi krisis, informasi justru harus diperluas, bukan dipersempit. - Membangun kepercayaan melalui keterbukaan, bukan kontrol
Negara perlu hadir sebagai pendengar, bukan sekadar pengendali.
Negara yang demokratis diuji bukan dari seberapa cepat ia memutus internet, tetapi dari seberapa serius ia menyambung aspirasi rakyat. Jika yang dipercepat selalu kontrol, sementara dialog dibiarkan lambat, maka jarak antara negara dan warga akan semakin melebar dan demokrasi pun berjalan pincang.



