Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
beritax.id – Pemerintah selama ini sering membanggakan fleksibilitas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam rentang 5 hingga 15 persen, seolah-olah memberi ruang optimisme bagi rakyat. Namun, jika kita cermati secara mendalam, narasi ini tidak lebih dari sekadar ilusi fiskal yang meninabobokan masyarakat, tanpa komitmen nyata untuk melindungi daya beli rakyat.
Sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Tarif PPN ditetapkan sebesar 10 persen, dengan opsi penyesuaian antara 5–15 persen. Pada masa itu, opsi ini ditafsirkan sebagai langkah antisipatif terhadap dinamika ekonomi, baik saat negara mengalami krisis pendapatan maupun surplus. Namun realitanya, selama hampir empat dekade, kita tidak pernah melihat PPN diturunkan mendekati 5 persen. Sebaliknya, pemerintah selalu bermain di angka aman 10 persen tanpa strategi serius untuk menurunkannya demi meningkatkan konsumsi rakyat.
Arah Kebijakan Fiskal dalam UU HPP
Lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) semakin menegaskan arah kebijakan fiskal yang sebenarnya: bukan menurunkan tarif demi melonggarkan beban konsumsi masyarakat, melainkan justru mengunci kenaikan tarif. Melalui UU HPP, tarif PPN dinaikkan menjadi 11 persen sejak April 2022 dan ditetapkan naik lagi menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. Artinya, alih-alih mewujudkan wacana penurunan tarif, pemerintah secara gamblang sudah merencanakan kenaikan demi kenaikan.
Ironisnya, pemerintah tetap mempertahankan narasi “tarif bisa 5 persen” di dalam undang-undang sebagai pemanis politik. Sebagian masyarakat awam mungkin masih berharap tarif akan turun jika ekonomi membaik atau jika penerimaan negara stabil. Namun, harapan ini ibarat menunggu hujan di musim kemarau panjang. Tidak pernah ada roadmap fiskal resmi, tidak ada simulasi fiskal dalam Nota Keuangan, tidak ada diskusi terbuka di DPR mengenai kemungkinan penurunan tarif ke 7 persen atau bahkan 5 persen. Semua ini menegaskan bahwa retorika 5–15 persen hanya digunakan sebagai gincu kosmetik kebijakan fiskal.
Dampak Sosial Kenaikan Tarif PPN
Kenaikan tarif PPN memiliki implikasi sosial yang signifikan. Beban konsumsi semakin berat, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Harga barang dan jasa yang naik secara langsung mempersempit daya beli. Sementara itu, kelompok masyarakat kelas atas yang memiliki akses terhadap skema penghindaran pajak relatif tidak terpengaruh. Kenaikan ini juga berdampak pada sektor informal dan UMKM yang justru menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Jika pemerintah benar-benar berpihak kepada rakyat, seharusnya ada upaya serius menurunkan tarif PPN atau setidaknya mempertahankannya pada level 10 persen sembari memperluas basis pajak lain, misalnya optimalisasi pajak penghasilan, pajak digital, atau penertiban pajak sektor ekstraktif. Bukannya malah menjadikan konsumsi rakyat sebagai sumber utama tambahan penerimaan negara.
Kesimpulan: Perlunya Sikap Kritis Rakyat
Penegasan dalam UU HPP bahwa tarif PPN bisa diturunkan hingga 5 persen pada kenyataannya hanyalah retorika politis tanpa keberanian eksekusi. Bahkan prosedurnya pun kini semakin berbelit, harus dibahas bersama DPR dan dikunci dalam APBN. Artinya, semakin tidak mungkin terjadi secara praktis dalam waktu dekat.
Pada akhirnya, rakyat harus lebih kritis membaca narasi kebijakan fiskal pemerintah. Jangan biarkan angka 5 persen menjadi sekadar dongeng pengantar tidur yang menjauhkan kita dari realitas beban pajak yang semakin berat. Karena sesungguhnya, keberpihakan pemerintah dapat diukur bukan dari narasi manis dalam teks undang-undang, tetapi dari strategi nyata yang melindungi kantong rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkeadilan.