beritax.id – Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut prinsip due process of law, proses rekrutmen Calon Hakim Agung (CHA) harus menjadi cerminan integritas dan akuntabilitas lembaga peradilan. Proses ini tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga mencerminkan nilai-nilai etik dan profesionalisme yang fundamental dalam menjaga kepercayaan publik. Namun, laporan masyarakat terhadap pencalonan Dr. Agus Suharsono sebagai CHA Khusus Pajak telah menimbulkan kekhawatiran serius. Berdasarkan data yang diperoleh dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), diketahui bahwa yang bersangkutan baru menjabat sebagai Hakim Pengadilan Pajak sejak tahun 2023. Hal ini bertentangan dengan pernyataan dalam berkas pencalonan yang menyebutkan pengalaman lebih dari 20 tahun di bidang perpajakan. Dengan maksud untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 huruf a angka 6 Undang-Undang Mahkamah Agung yang mewajibkan pengalaman paling sedikit 20 tahun sebagai hakim.
Tindakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap integritas, serta berpotensi menyelundupkan hukum secara tidak langsung. Penyesuaian jalur pencalonan dari hakim karier ke non-karier, dengan maksud untuk menghindari batasan pengalaman sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Tidak hanya mengelabui publik, tetapi juga melecehkan prinsip kejujuran dan kelayakan dalam seleksi jabatan tinggi yudisial. Lebih dari sekadar pelanggaran administratif, hal ini merupakan bentuk pelecehan terhadap etika hakim. Sebagaimana diatur dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), serta mengancam kredibilitas lembaga Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Oleh karena itu, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang diberi mandat untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, harus mengambil langkah-langkah sistemik dan preventif. Pertama, KY perlu memperkuat mekanisme verifikasi lintas instansi. Khususnya dengan Kementerian Keuangan dan Mahkamah Agung, guna memastikan bahwa seluruh informasi. Hal ini mengenai latar belakang jabatan calon dapat diakses secara akurat dan transparan. Data kepegawaian, riwayat jabatan, dan rekam jejak profesional calon harus diverifikasi secara menyeluruh melalui kanal resmi pemerintah. Bukan hanya berdasarkan dokumen pernyataan pribadi.
Fungsi Pengawasan yang Transparansi
Selanjutnya, Komisi Yudisial perlu meningkatkan fungsi pengawasan berbasis transparansi dan keterlibatan publik. Setiap tahapan seleksi, mulai dari seleksi administrasi hingga wawancara terbuka, seyogianya disiarkan atau dipublikasikan secara terbuka agar masyarakat dapat memberikan masukan berdasarkan informasi yang objektif dan terverifikasi. Dengan keterlibatan publik yang luas, maka potensi penyimpangan dalam proses seleksi dapat diminimalisir secara sistemik.
Lebih jauh, KY juga sebaiknya melakukan evaluasi terhadap keberadaan jalur karier dan non-karier dalam proses seleksi CHA Khusus Pajak. Adanya fleksibilitas dalam interpretasi status jabatan justru membuka celah manipulasi. Khususnya bagi calon yang ingin menghindari ketentuan waktu atau jenjang jabatan. Reformasi peraturan internal dan evaluasi teknis terhadap pengaturan jalur pencalonan menjadi krusial agar ke depan tidak terjadi tumpang tindih atau penyalahgunaan celah hukum.
Sebagai bentuk komitmen terhadap integritas seleksi, KY juga perlu menyusun prosedur sanksi yang lebih tegas. Terhadap calon yang terbukti memberikan keterangan palsu atau menyembunyikan informasi yang seharusnya disampaikan. Sanksi tersebut harus meliputi diskualifikasi langsung dari proses seleksi, pelaporan kepada aparat penegak hukum, hingga rekomendasi peninjauan kembali terhadap jabatan yudisial yang sedang diemban calon yang bersangkutan.
Dengan berbagai langkah tersebut, diharapkan proses seleksi Calon Hakim Agung Khusus Pajak benar-benar dilandasi prinsip keadilan, kejujuran, dan keabsahan hukum. Rekrutmen hakim bukan semata-mata penempatan jabatan, tetapi merupakan penentu arah peradilan di masa depan. Oleh karenanya, Komisi Yudisial harus memastikan bahwa setiap individu yang terpilih adalah mereka yang tidak hanya memenuhi syarat administratif, tetapi juga memiliki integritas yang tak terbantahkan dan komitmen kuat terhadap keadilan. Karena hanya dengan hakim yang bersih dan jujur, hukum dapat benar-benar menjadi panglima, bukan alat kepentingan.
Oleh: Fhilipo