Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia | Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Jika kita menengok jauh ke dalam khazanah kosmologi spiritual Islam, kita akan menemukan satu cahaya agung yang menjadi asal mula segalanya: Nur Muhammad. Menurut banyak ulama sufi. Nur Muhammad adalah cahaya pertama yang diciptakan Allah. Sebelum terciptanya langit dan bumi, sebelum terciptanya malaikat, jin, apalagi manusia. Nur Muhammad adalah alasan ilahiah bagi Allah untuk melanjutkan proses penciptaan. Inilah sumber yang menjadi “niat” dan “sabda” awal Sang Pencipta.
Enam Tahapan Penciptaan Menuju Kesempurnaan Manusia
Dalam kosmologi spiritual, setelah Nur Muhammad tercipta, terjadilah ledakan maha dahsyat yang dalam istilah sains modern disebut Big Bang. Dari ledakan inilah, lahir alam semesta dengan segala hukum dan keteraturannya, inilah tahap pertama, penciptaan jagad raya.
Tahap kedua, Allah menciptakan tumbuhan, makhluk yang bisa tumbuh namun tidak bisa bergerak dan tidak memiliki akal. Ini adalah simbol kehidupan yang tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah, tanpa resistensi dan kehendak bebas.
Tahap ketiga adalah penciptaan hewan, yang bisa tumbuh, bisa bergerak, tapi tidak memiliki akal budi untuk membedakan benar dan salah. Hewan hanya digerakkan oleh insting, naluri bertahan, dan dorongan makan-minum.
Tahap keempat, barulah manusia diciptakan, makhluk yang bisa tumbuh, bergerak, dan memiliki akal, sehingga mampu berpikir, mempertimbangkan, serta membuat keputusan moral. Namun, di tahap ini manusia masih berada di tahap “dasar”, yaitu sebagai makhluk yang berpotensi baik, tetapi belum tentu menjadi abdi yang setia.
Tahap kelima adalah Abdullah atau abdi Allah. Manusia yang mulai menyadari fungsinya sebagai hamba Tuhan, yang melampaui sekadar akal dan fisik. Lalu menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
Tahap keenam, manusia mencapai maqam tertinggi sebagai Khalifatullah fil Ardh, wakil Allah di bumi. Pada tahap ini, manusia bukan sekadar hamba, tetapi penanggung jawab atas keberlangsungan ciptaan Allah di bumi. Ia bukan hanya menjaga dirinya, tetapi juga menjaga seluruh ekosistem kehidupan: tumbuhan, hewan, air, udara, dan seluruh sesama manusia.
Nur Muhammad dan Konstitusi Langit
Di sinilah letak kejeniusan spiritual Cak Nun. Beliau mampu menangkap Nur Muhammad, cahaya primordial yang menembus segala sekat ruang dan waktu, kemudian menurunkannya dalam bentuk konsep Konstitusi Langit.
Konstitusi Langit bukan sekadar naskah legal-formal yang dibingkai pasal demi pasal. Bagi Cak Nun, ia adalah kesadaran spiritual mendalam yang harus dihidupi: mengembalikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat, menyatukan rakyat dengan keadilan, dan merumuskan negara sebagai tempat beribadah kolektif.
Cak Nun mengajarkan bahwa manusia di negeri ini harus bertransformasi dari sekadar makhluk yang punya akal menjadi Abdullah. Lalu naik ke maqam Khalifatullah. Barulah rakyat Indonesia bisa memikul tanggung jawab mendirikan negara yang adil, transparan, dan sejahtera.
Dengan dasar ini, maka Konstitusi Langit tidak mungkin lahir dari sekadar akal politik transaksional, tidak bisa ditegakkan lewat lobby-lobby elite, apalagi melalui sekadar angka-angka elektoral. Konstitusi Langit hanya bisa ditegakkan oleh manusia-manusia yang sudah “menangkap” frekuensi Nur Muhammad, yang telah melewati tahapan spiritual, mulai dari tunduk total, kemudian menjadi abdi setia, hingga akhirnya menjadi wakil Allah di bumi.
Jalan Menuju Revolusi Kesadaran Bangsa
Jika bangsa ini benar-benar ingin lepas dari belenggu oligarki, korupsi, dan kesenjangan yang menganga, maka harus ada gerakan menuju spiritualitas kolektif. Tidak cukup sekadar revisi undang-undang atau tambal sulam kebijakan. Kita butuh revolusi kesadaran, revolusi yang diawali dengan menyucikan hati, memurnikan niat, dan meneguhkan keberanian untuk menjadi khalifah yang amanah.
Nur Muhammad adalah cahaya pemantik. Konstitusi Langit adalah wujud peradaban. Keduanya saling melengkapi.
Sekarang, bangsa ini tinggal memilih: tetap bertahan sebagai “hewan politik” yang hanya mengejar kursi dan kekuasaan, atau naik kelas menjadi umat yang benar-benar menjalankan fungsi sebagai khalifah di bumi.
Sebagaimana Cak Nun selalu ingatkan, inilah saatnya kita menyatukan ilmu, akal, batin, dan nurani, agar kelak kita bisa benar-benar menjadi bangsa yang rahmatan lil ‘alamin.