beritax.id – Dalam sistem demokrasi, media disebut sebagai pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Fungsinya sangat penting yaitu menginformasikan, mengedukasi, dan mengawasi kekuasaan. Namun hari ini, banyak media justru kehilangan arah. Headline media dipenuhi gosip selebritas, sensasi kriminalitas, dan isu remeh-temeh yang minim nilai publik. Sementara isu-isu strategis seperti krisis pangan, pelemahan rupiah, utang negara, hingga pelanggaran HAM, justru tenggelam.
Ketika Media Tak Lagi Jadi Penjaga Demokrasi
Demokrasi tidak bisa berjalan tanpa kontrol publik. Dan kontrol publik tidak bisa dilakukan tanpa media yang jujur dan bebas. Namun, indeks kebebasan pers Indonesia menunjukkan tren penurunan.
Menurut laporan Reporters Without Borders (RSF) 2024, Indonesia berada di peringkat 108 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers, turun dari posisi 117 tahun sebelumnya. RSF menyebut bahwa “media di Indonesia masih menghadapi tekanan dari pemerintah dan kelompok kepentingan, terutama dalam isu-isu pemerintahan dan ekonomi.”
Bahkan, dalam laporan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) 2024, terdapat 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis, mulai dari doxing, intimidasi, pemidanaan, hingga serangan fisik. Semua ini menjadi sinyal bahwa media di Indonesia tidak lagi berdiri bebas dan dalam banyak kasus, memang dibungkam secara sistematis.
Prinsip ‘Bad News is Good News’
Dalam dunia jurnalistik, ada pepatah: “Bad news is good news.” Artinya, berita buruk justru punya nilai berita tinggi karena publik perlu tahu. Tapi hari ini, prinsip itu berubah makna. “Bad news” soal korupsi pejabat, penyimpangan kebijakan, atau pelanggaran HAM jarang muncul di headline. Justru, media ramai mengangkat isu murahan: skandal percintaan selebritas, pertengkaran selebgram, atau spekulasi skandal pejabat.
Pola ini berulang terutama saat ada isu besar. Misalnya, ketika BPK menemukan kejanggalan belanja APBN Rp10,35 triliun pada audit semester I 2024, pemberitaannya kalah besar dibanding kabar perceraian artis sinetron. (Sumber: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK 2024)
Ini bukan sekadar ketidaksengajaan. Ini strategi pengalihan. Supaya publik sibuk pada yang remeh, dan lupa pada yang penting. Padahal, yang penting itulah yang berdampak pada hidup masyarakat luas.
Media Jadi Bisnis, Bukan Lagi Penjaga Kepentingan Publik
Kita juga harus bicara soal struktur kepemilikan media. Banyak media besar di Indonesia dimiliki oleh oknum pejabat dan pebisnis yang memiliki afiliasi langsung dengan kekuasaan. Menurut riset Remotivi (2023), lebih dari 60% media nasional dikendalikan oleh konglomerasi yang terafiliasi dengan partai politik atau pejabat.
Contoh paling nyata: grup media milik pejabat yang juga mencalonkan diri di Pilpres, atau pemilik media yang menjabat sebagai menteri. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana bisa publik berharap media berani mengkritik kebijakan yang merugikan rakyat?
Ketika media menjadi bagian dari sistem kekuasaan, jurnalis tidak lagi bekerja untuk publik. Mereka bekerja untuk menjaga citra pemilik, menyesuaikan isi berita dengan kepentingan oknum pejabat, dan membungkam kritik yang berpotensi “mengganggu hubungan baik” dengan penguasa.
Ketidakbebasan Pers adalah Masalah Sistemik
Banyak media tidak diam karena malas. Mereka diam karena dibungkam. Tekanan bisa dalam bentuk pencabutan iklan pemerintah, pemblokiran akses informasi, hingga pemidanaan dengan pasal-pasal karet seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
AJI mencatat bahwa jurnalis investigasi independen yang membongkar praktik korupsi di daerah kerap diintimidasi aparat atau pejabat lokal. Bahkan beberapa media daring kecil terpaksa tutup karena tekanan finansial setelah memberitakan proyek pemerintah yang bermasalah.
Ketika tekanan itu sistemik dan tidak ditangani, media dipaksa “main aman”. Mereka hanya memberitakan hal-hal yang netral, sensasional, atau tidak menyentuh pusat kekuasaan. Akibatnya, publik kehilangan akses terhadap informasi penting yang seharusnya menjadi hak mereka.
Transparansi Tanpa Media Itu Mustahil
Partai X menegaskan bahwa negara harus dijalankan secara efektif, efisien, dan transparan. Tapi bagaimana mungkin transparansi bisa dijalankan, jika media yang seharusnya menyampaikan informasi justru dibungkam?
Informasi publik bukan hak istimewa melainkan itu adalah hak rakyat. Dan ketika informasi disaring berdasarkan kepentingan oknum pejabat, maka negara tidak sedang melayani rakyat. Negara sedang melindungi dirinya sendiri dari kritik.
Prinsip-prinsip dasar demokrasi mensyaratkan keterbukaan. Tapi tanpa media yang bebas dan kritis, keterbukaan hanyalah slogan.
Demokrasi Mati Bukan Karena Kudeta, Tapi Karena Media Dibiarkan Bungkam
Jika media terus dikendalikan, demokrasi tidak akan mati dengan suara ledakan. Ia akan mati dalam kesunyian. Pelan-pelan, rakyat kehilangan hak untuk tahu. Dan ketika rakyat tak tahu, mereka tak bisa bersuara. Dan ketika mereka tak bisa bersuara, maka kekuasaan bisa berjalan tanpa pengawasan.
Kita tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Kita butuh media yang kembali ke fungsinya: mengabarkan yang benar, menyoroti yang salah, dan mewakili suara publik. Demokrasi tidak butuh media yang manis di depan penguasa. Demokrasi butuh media yang berani, jujur, dan berpihak pada rakyat.
Jika tidak, maka yang rusak bukan cuma media tapi juga fondasi negara.