beritax.id – “Siapa sebenarnya yang kita beri kuasa… dan apa yang mereka lakukan dengan kekuasaan itu?”
Pertanyaan tersebut menggambarkan kegelisahan publik terhadap kondisi pemerintahan dan sosial Indonesia hari ini. Demokrasi yang diharapkan memberi ruang bagi rakyat untuk menentukan arah bangsa justru terasa dikendalikan oleh oknum pejabat yang berkepentingan. Kita dihadapkan pada sebuah ironi: negara demokratis, namun suara rakyat semakin tak terdengar.
Demokrasi yang Terkonsentrasi pada Pejabat Publik
Pemerintah silih berganti, namun aktor pejabatnya tetap sama. Partai-partai besar lebih sibuk menjalin koalisi untuk mempertahankan kekuasaan daripada memikirkan nasib rakyat. Koalisi besar dalam Pilpres 2024 misalnya, memperlihatkan bagaimana lawan dapat dengan mudah berubah menjadi sekutu hanya demi kepentingan kekuasaan, bukan visi bersama untuk kesejahteraan rakyat.
Menurut survei LSI Denny JA pada awal 2024, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik hanya berada di angka 51%, menurun dari tahun sebelumnya. Ini menunjukkan adanya kejenuhan masyarakat terhadap perilaku partai yang hanya muncul menjelang pemilu dan hilang setelah berkuasa.
Di sisi lain, rakyat masih harus berjibaku dengan berbagai persoalan struktural: kesenjangan ekonomi, kerusakan lingkungan, konflik sosial, hingga ketidakadilan hukum. Sementara pejabat menikmati fasilitas negara, rakyat harus puas dengan janji.
Kesenjangan Menuju Masa Depan Indonesia Lebih Baik yang Terus Melebar
Indonesia memang mencatat pertumbuhan ekonomi yang stabil. Menurut BPS, ekonomi tumbuh 5,11% pada kuartal pertama 2025. Namun, pertumbuhan tersebut belum berbanding lurus dengan pemerataan kesejahteraan. Data World Inequality Database menunjukkan bahwa 10% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari 77% kekayaan nasional. Ini menjelaskan mengapa angka kemiskinan ekstrem tetap tinggi, 2,2 juta penduduk hidup dengan pengeluaran kurang dari Rp10.739 per hari (BPS, Maret 2024).
Selain itu, pembangunan infrastruktur yang digenjot pemerintah, seperti proyek Ibu Kota Negara (IKN), dinilai tidak menyentuh kebutuhan mendesak masyarakat. Walhi (2024) mencatat bahwa pembangunan IKN telah menyebabkan deforestasi lebih dari 36.000 hektare hutan, memperparah krisis iklim dan mengancam ekosistem lokal. Namun, yang disalahkan sering kali adalah masyarakat adat atau nelayan kecil, bukan korporasi besar.
Demokrasi yang Dibiaskan Media dan Narasi
Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi juga mengalami kemunduran. Indeks kebebasan pers Indonesia versi Reporters Without Borders (2024) menurun ke peringkat 108 dunia. Alih-alih menjadi ruang kritik, media arus utama sering kali dipenuhi narasi sensasional yang mengalihkan isu strategis. Rakyat tidak diberi ruang untuk memahami kebijakan secara utuh, melainkan dijejali isu-isu konflik identitas atau gosip publik figur.
Di sisi lain, ruang dialog yang sehat nyaris lenyap. Diskusi kritis dibungkam, dan gerakan masyarakat sipil dilabeli “radikal” atau “anti-pemerintah.” Padahal, demokrasi hanya bisa tumbuh jika rakyat diberi ruang untuk bertanya dan berbeda pendapat.
Teknologi: Antara Potensi dan Kemunduran Masa Depan Indonesia
Pemerintah kerap mengklaim siap menyongsong era digital. Namun kenyataannya, infrastruktur digital dan sistem pemerintahan elektronik masih tertinggal. Menurut laporan BSSN (2024), terjadi lebih dari 12 juta upaya serangan siber sepanjang tahun, termasuk kebocoran data pada PDN (Pusat Data Nasional). Ironisnya, tanggapan pemerintah atas insiden ini hanya berupa investigasi yang belum kunjung transparan.
Teknologi seharusnya digunakan untuk memperkuat transparansi dan pelayanan publik. Namun faktanya, banyak aplikasi layanan pemerintah yang tidak terintegrasi, lambat, dan menyulitkan. Menurut riset Katadata Insight Center (2023), 62% responden mengeluhkan aplikasi pemerintah daerah yang tidak user-friendly dan sering error.
Yang dibutuhkan bukan sekadar digitalisasi, tetapi smart governance yaitu pemerintahan yang responsif, transparan, dan berbasis data. Tanpa itu, teknologi hanya menjadi alat pencitraan, bukan transformasi.
Bahaya Ketimpangan dan Polarisasi
Jika situasi ini dibiarkan, ketimpangan dan polarisasi sosial bisa menjadi bom waktu. Ketika rakyat terus dibungkam, sementara pejabat melanggengkan kekuasaan dengan segala cara, kepercayaan publik terhadap negara akan runtuh. Hal ini bisa memperparah fragmentasi sosial dan membuka jalan bagi konflik horizontal.
Lembaga The Economist Intelligence Unit (2024) bahkan menurunkan skor demokrasi Indonesia menjadi 6,38, kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Hal ini didasarkan pada lemahnya institusi demokrasi dan rendahnya partisipasi yang bermakna.
Namun, kondisi ini bisa dibalik. Jika pemerintah berani melakukan reformasi struktural, membuka ruang partisipasi publik, dan menjadikan rakyat sebagai pemilik kekuasaan, maka masa depan yang inklusif dan damai bukan mustahil.
Solusi: Reformasi, Bukan Retorika
Langkah awal menurut Partai X adalah mengembalikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan utama. Salah satu opsi yang sering dibahas adalah melakukan amandemen kelima UUD 1945, guna memperkuat kembali posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan mengembalikan rakyat ke kekuasaan tertinggi dalam struktur ketatanegaraan. Namun tentu, hal ini hanya mungkin jika dilakukan secara jujur dan terbuka oleh semua elemen, bukan untuk mengonsolidasikan kekuasaan, tetapi untuk memperbaiki sistem.
Kedua, transparansi dan akuntabilitas harus jadi fondasi. Rakyat butuh jaminan bahwa hukum ditegakkan adil. Bahwa pengawasan publik tidak hanya diterima, tapi diakomodasi melalui digitalisasi yang cerdas, bukan seremonial.
Ketiga, pembangunan harus berpusat pada manusia. Infrastruktur fisik penting, tapi pembangunan SDM jauh lebih fundamental. Pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak adalah indikator kemajuan yang sesungguhnya.
Kesimpulan: Pilihan Ada di Kita
Rakyat hari ini lebih cerdas, lebih sadar, dan punya akses informasi yang lebih luas. Tapi kesadaran saja tidak cukup. Perubahan hanya mungkin terjadi jika disertai partisipasi aktif. Demokrasi bukan hanya mencoblos lima tahun sekali, tetapi tentang mengawal, bertanya, dan berani bersuara setiap hari.
Jika kita diam, maka sistem yang timpang ini akan terus berjalan. Tapi jika kita bersuara, berdiskusi, dan bergerak, maka perubahan sekecil apa pun bisa terjadi.
Masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh pejabat semata, tetapi oleh rakyat yang berani menjaga akal sehat dan suara nuraninya. Pertanyaannya kini: apa yang bisa kita lakukan, mulai hari ini?