beritax.id – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian resmi menerbitkan Surat Edaran (SE) yang melarang kepala daerah bepergian ke luar wilayah maupun ke luar negeri hingga 15 Januari 2026. Aturan ini dikeluarkan sebagai respons atas cuaca ekstrem dan potensi bencana yang meningkat di berbagai daerah.
“Saya juga sudah mengeluarkan surat edaran agar tidak meninggalkan tempat dan tidak ke luar negeri sampai 15 Januari,” kata Tito di Kantor Kemendagri, Selasa (9/12/2025).
Tito menegaskan bahwa kewajiban tersebut demi memastikan kepala daerah tetap siaga, terutama di wilayah yang rawan bencana. Menurutnya, keberadaan pemimpin menjadi penentu efektivitas seluruh jajaran pemerintah daerah.
Pentingnya Kepemimpinan Daerah Saat Bencana
Dalam pernyataannya, Tito menekankan bahwa kepala daerah adalah pusat koordinasi dalam Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Tanpa mereka, proses pengambilan keputusan dan koordinasi lintas instansi dapat terhambat.
“Bawahannya tidak memiliki power sekuat kepala daerah. Jika leadership hilang, koordinasi menjadi tidak terarah,” ujarnya.
Larangan ini muncul setelah sejumlah sorotan publik, termasuk kasus bupati yang meninggalkan daerah saat warganya terdampak bencana. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah preventif agar kejadian serupa tidak terulang.
Respons Partai X: Aturan Tepat, Tapi Harus Konsisten Diawasi
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute, Rinto Setiyawan, mengapresiasi langkah tegas Mendagri.
Rinto mengingatkan bahwa tugas negara ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Karena itu, kepala daerah sebagai representasi negara di tingkat lokal tidak boleh meninggalkan wilayah saat kondisi darurat.
“Bukan sekadar aturan administratif, tetapi ini adalah etika dasar kekuasaan. Kepala daerah punya mandat moral untuk berada di depan saat rakyatnya berada dalam situasi genting,” tegas Rinto.
Partai X menilai aturan ini akan kehilangan makna jika tidak disertai pengawasan ketat dan mekanisme sanksi.
“Surat edaran bukan dekorasi. Harus ada sistem pemantauan, laporan harian, dan tindakan tegas apabila ada pelanggaran,” sambungnya.
Prinsip Partai X: Kekuasaan Itu Amanah, Bukan Privilege
Menurut prinsip Partai X, negara tidak boleh diperlakukan sebagai milik pejabat. Pemerintah hanyalah “sebagian kecil rakyat yang diberi mandat” untuk mengelola keselamatan, kesejahteraan, dan administrasi negara.
Prinsip utama Partai X yang relevan meliputi:
- Kepemimpinan adalah alat pelayanan, bukan simbol kehormatan.
- Rakyat pemilik kedaulatan, pejabat hanyalah pelaksana mandat.
- Keadilan dan keberpihakan kepada yang paling rentan harus menjadi prioritas.
- Negara harus hadir secara nyata di saat bencana, bukan sebatas pernyataan.
Ketidakhadiran kepala daerah di tengah bencana, menurut Partai X, bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut.
Solusi Partai X: Menguatkan Sistem Siaga dan Kepemimpinan Daerah
Agar kebijakan Mendagri tidak berhenti pada larangan semata, Partai X menawarkan solusi solutif berbasis prinsip organisasi negara:
1. Sistem Emergency Leadership Protocol
Setiap kepala daerah wajib memiliki standar operasional kepemimpinan saat bencana, mencakup:
- kewajiban berada di posko utama,
- laporan situasi setiap 6 jam,
- kewajiban koordinasi dengan TNI/Polri dan kementerian terkait.
2. Dashboard Nasional Kehadiran Kepala Daerah
Platform digital yang menampilkan keberadaan kepala daerah secara real-time untuk mencegah pelanggaran larangan keluar wilayah.
3. Delegasi Kewenangan Terstruktur
Apabila kepala daerah sakit atau berhalangan tetap, kewenangan sementara harus otomatis jatuh kepada wakil atau sekretaris daerah, tanpa menunggu instruksi tambahan.
4. Pendidikan Kepemimpinan Berbasis Pancasila
Kepala daerah baru wajib mengikuti pelatihan pendalaman fungsi negara menurut prinsip:
- keadilan sosial,
- etika kekuasaan,
- tanggung jawab moral kepada rakyat.
5. Dana Darurat Lokal
Pemda wajib menyiapkan dana cadangan minimal untuk penanganan cepat tanpa menunggu transfer pusat.
Partai X menilai larangan Mendagri sebagai langkah penting untuk mengembalikan etika dasar pemerintahan. Aturan ini harus menjadi refleksi bahwa jabatan publik bukan ruang rekreasi, tetapi komitmen untuk selalu hadir ketika rakyat membutuhkan.
“Pemimpin itu bukan datang saat seremoni, tetapi berdiri di garis depan saat krisis,” tutup Rinto Setiyawan.



