beritax.id — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan korupsi proyek digitalisasi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik PT Pertamina (Persero). Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan pemeriksaan dua saksi dilakukan untuk memperkuat penyidikan terkait pengadaan digitalisasi SPBU periode 2018–2023.
“Penyidik mendalami pengadaan digitalisasi SPBU dan menghitung potensi kerugian negara,” ujar Budi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (24/10/2025).
Dua saksi yang diperiksa adalah AH, mantan OSM Service Operation SDA PT Telkom Indonesia tahun 2020–2021, serta DK, Senior Advisor II SDA Telkom Indonesia tahun 2020. Keduanya dimintai keterangan mengenai keterlibatan PT Telkom dalam proyek digitalisasi SPBU yang semula ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi distribusi bahan bakar.
KPK mengonfirmasi bahwa kasus ini telah naik ke tahap penyidikan sejak September 2024, dengan tiga tersangka yang telah ditetapkan per Januari 2025. Proses penyidikan kini memasuki tahap akhir dengan kerja sama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung total kerugian negara.
Salah satu tersangka, Elvizar (EL), diketahui juga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero).
Ketua Umum Partai X: Teknologi Harus Transparan dan Akuntabel
Menanggapi kasus tersebut, Ketua Umum Partai X, Erick Karya, menegaskan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh dijadikan kedok untuk praktik korupsi. Menurut Erick, tugas negara itu tiga melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Dalam konteks ini, negara harus memastikan setiap proyek digital berbasis kejujuran dan tanggung jawab.
“Digitalisasi bukan jalan pintas memperkaya segelintir orang. Ia harus memperkuat keadilan dan transparansi publik,” tegas Erick di Jakarta.
Ia mengingatkan bahwa korupsi digital merupakan bentuk baru penyimpangan birokrasi modern. “Teknologi bisa mempercepat pelayanan publik, tapi bila dikuasai koruptor, justru mempercepat kehancuran moral bangsa,” ujarnya.
Erick menegaskan bahwa Partai X menolak segala bentuk digitalisasi yang tidak berlandaskan akuntabilitas dan moralitas. “Negara digital harus punya etika digital. Bila proyek digital justru mencuri uang rakyat, maka itu penghianatan pada bangsa,” tegasnya.
Prinsip Partai X: Digitalisasi untuk Rakyat, Bukan untuk Korporasi
Partai X berpandangan bahwa teknologi digital harus menjadi alat pemerataan, bukan alat penghisapan ekonomi. Dalam prinsipnya, Partai X menegaskan bahwa modernisasi harus menjunjung nilai integritas, efisiensi, dan keterbukaan informasi publik.
Teknologi tanpa pengawasan rakyat hanya akan menciptakan kekuasaan baru yang tak tersentuh hukum. Karena itu, Partai X menuntut reformasi sistem pengadaan digital berbasis transparansi dan partisipasi publik.
“Digitalisasi harus menciptakan keadilan sosial. Negara tidak boleh hanya berperan sebagai pembeli sistem, tetapi harus menjadi pengatur moral teknologinya,” ujar Erick.
Solusi Partai X: Audit Digital Nasional dan Etika Teknologi
Sebagai solusi, Partai X mengusulkan tiga langkah strategis dalam memperkuat integritas sistem digital nasional.
Pertama, membentuk Audit Digital Nasional di bawah lembaga independen untuk memeriksa seluruh proyek berbasis teknologi di kementerian dan BUMN. Audit ini memastikan tidak ada penggelembungan anggaran atau manipulasi sistem digital.
Kedua, menerapkan standar Etika Teknologi Nasional yang mewajibkan setiap proyek digital memiliki sistem keamanan, keterlacakan transaksi, dan tanggung jawab sosial.
Ketiga, memberikan ruang partisipasi publik dalam pengawasan proyek digitalisasi, terutama yang menggunakan dana rakyat. Transparansi data harus menjadi hak, bukan fasilitas.
“Partai X percaya, masa depan bangsa digital tidak hanya diukur dari teknologi yang canggih, tapi dari moralitas yang teguh. Teknologi harus bersih dari korupsi, karena hanya dengan itulah kemajuan bisa berarti keadilan,” tutup Erick Karya.



