beritax.id — Usulan Menteri HAM Natalius Pigai agar tindak pidana korupsi masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia memunculkan perdebatan di parlemen. Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Andreas Hugo Pareira, menyarankan agar usulan tersebut dimasukkan langsung ke dalam Rancangan Undang-Undang tentang HAM.
Namun, Andreas menegaskan bahwa hingga saat ini RUU HAM belum masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas). “Silakan dimasukkan dalam draf revisi UU HAM versi pemerintah. Setahu saya belum ada draf revisinya,” ujarnya, Jumat (24/10).
Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, menilai usulan tersebut tidak berlebihan. Menurutnya, korupsi secara nyata melanggar hak ekonomi masyarakat karena menghambat kesejahteraan dan pemerataan pembangunan. “Korupsi bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam konteks ekonomi masyarakat,” kata Nasir.
Menteri HAM Natalius Pigai sebelumnya menyatakan, pengaitan antara korupsi dan pelanggaran HAM merupakan terobosan hukum pertama di dunia. Ia menyebut pasal tentang korupsi sebagai pelanggaran HAM telah disusun dalam dokumen revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. “Kalau DPR menyetujui, Indonesia akan menjadi negara pertama yang mengaitkan korupsi dan HAM,” ucap Pigai.
Partai X: Korupsi adalah Kejahatan terhadap Hak Publik
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Menurutnya, korupsi bukan hanya tindak pidana keuangan, melainkan bentuk nyata pelanggaran hak rakyat atas pelayanan publik dan kesejahteraan.
“Ketika pejabat mencuri uang rakyat, mereka tidak sekadar merugikan negara, tapi merampas hak hidup rakyat. Itu pelanggaran HAM,” ujar Rinto. Ia menilai, paradigma lama yang memisahkan korupsi dari pelanggaran hak asasi manusia harus segera diakhiri agar hukum lebih berpihak pada kepentingan publik.
Partai X menilai langkah Kementerian HAM tersebut sebagai momentum untuk mereformasi cara pandang hukum nasional terhadap kejahatan publik. Korupsi tidak bisa hanya diselesaikan lewat pendekatan administratif, tetapi harus didekati sebagai kejahatan kemanusiaan yang melumpuhkan hak-hak dasar rakyat.
Prinsip Partai X: Keadilan Substantif, Bukan Sekadar Prosedural
Dalam prinsip Partai X, hukum harus menjadi sarana moral untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan keadilan. Korupsi, dalam perspektif Partai X, adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang menghancurkan keadilan substantif.
Partai X menegaskan, negara wajib menegakkan hukum yang berpihak pada korban sosial, bukan sekadar pelaku kekuasaan. Penegakan hukum tidak boleh berhenti pada logika pidana, tetapi harus memperjuangkan hak rakyat yang dirampas oleh kejahatan korupsi.
“Hukum bukan sekadar menghukum pelaku, tapi harus mengembalikan hak rakyat yang dirampas. Itulah esensi keadilan sejati,” tegas Rinto.
Solusi Partai X: Integrasi HAM dalam Hukum Antikorupsi Nasional
Sebagai solusi, Partai X mendorong agar pengaturan korupsi sebagai pelanggaran HAM dimasukkan dalam revisi Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Dengan demikian, pelaku korupsi dapat dijerat dengan sanksi ganda: pidana keuangan dan pelanggaran HAM berat.
Partai X juga mengusulkan pembentukan Dewan Pemulihan Hak Publik (DPHP) yang bertugas menghitung dan memulihkan hak sosial-ekonomi warga akibat korupsi. Lembaga ini akan bekerja bersama KPK dan Komnas HAM untuk memastikan setiap tindakan korupsi dikembalikan dalam konteks pelanggaran hak publik.
Selain itu, Partai X menekankan pentingnya pendidikan antikorupsi berbasis moral publik di lembaga pemerintahan dan pendidikan. Upaya ini bertujuan membangun generasi baru yang melihat korupsi bukan sekadar kejahatan hukum, tetapi sebagai tindakan yang mengingkari kemanusiaan.
Penutup: Korupsi Adalah Pengkhianatan terhadap Kemanusiaan
Partai X menegaskan, tidak ada kemajuan bangsa tanpa moral publik yang bersih dari korupsi. Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan, sebab ia merampas hak-hak dasar rakyat untuk hidup layak dan sejahtera.
“Negara harus berpihak pada korban, bukan pada pelaku. Hukum yang adil adalah hukum yang menegakkan martabat manusia,” pungkas Rinto Setiyawan.



