beritax.id – Ruang publik di Indonesia kian terasa menyempit. Bukan karena masyarakat kehabisan pendapat, melainkan karena kontrol atas narasi semakin menguat. Kritik kebijakan kerap dipandang sebagai gangguan stabilitas, sementara suara warga dipersempit dengan berbagai dalih dari etika, ketertiban, hingga ancaman hukum.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik menyaksikan pembubaran diskusi, pelaporan warga atas ekspresi pendapat di media sosial, hingga pemanggilan aktivis dan akademisi karena kritik kebijakan. Pasal-pasal karet dalam regulasi digital dan hukum pidana kembali digunakan, bukan untuk melindungi warga, tetapi untuk membungkam suara yang tidak sejalan.
Alih-alih membuka dialog, respons yang muncul justru mempersempit ruang partisipasi.
Narasi Resmi vs Realitas Warga
Pemerintah kerap menyampaikan narasi keberhasilan pembangunan dan stabilitas. Namun ketika warga menyampaikan pengalaman berbeda soal ekonomi, lingkungan, atau layanan publik narasi tandingan itu sering dianggap mengganggu.
Ketika negara hanya nyaman dengan cerita versinya sendiri, ruang publik berubah dari tempat dialog menjadi arena satu arah.
Dampak Sosial: Takut Bicara, Apatis Menguat
Kontrol narasi yang berlebihan melahirkan ketakutan. Warga memilih diam, bukan karena setuju, tetapi karena takut. Dalam jangka panjang, ini memicu apatisme pemerintah dan melemahkan pengawasan publik dua hal yang justru berbahaya bagi demokrasi.
Negara mungkin terlihat tenang, tetapi ketenangan itu rapuh karena dibangun di atas pembungkaman.
Tanggapan Rinto Setiyawan: Negara Jangan Takut pada Suara Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa penyempitan ruang publik adalah alarm serius bagi demokrasi.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Melindungi berarti melindungi hak bersuara, melayani berarti mau mendengar kritik, dan mengatur bukan berarti membungkam,” ujar Rinto.
Ia mengingatkan bahwa kritik adalah bentuk partisipasi, bukan ancaman.
Risiko Jangka Panjang: Demokrasi Prosedural Tanpa Substansi
Jika kontrol narasi terus dibiarkan, demokrasi akan menyusut menjadi sekadar prosedur—pemilu tetap ada, tetapi suara rakyat tak lagi bermakna. Ketika ruang publik mengecil, kebijakan kehilangan koreksi, dan kesalahan berulang tanpa evaluasi.
Negara yang alergi kritik sedang berjalan menuju krisis kepercayaan.
Solusi: Perluasan Ruang, Bukan Pembatasan Suara
Untuk memulihkan kepercayaan dan memperkuat demokrasi, langkah-langkah berikut perlu ditempuh:
- Hentikan penggunaan pasal karet untuk membungkam kritik
Hukum harus melindungi warga, bukan menakuti. - Buka ruang dialog publik yang setara dan aman
Kritik harus dijawab dengan argumen, bukan represi. - Perbaiki komunikasi kebijakan yang transparan dan partisipatif
Agar narasi negara diuji oleh realitas warga. - Lindungi kebebasan akademik, pers, dan berekspresi
Sebagai pilar demokrasi yang tak boleh dikompromikan. - Libatkan masyarakat sipil dalam perumusan kebijakan
Supaya kebijakan lahir dari pengalaman nyata, bukan sekadar citra.
Penutup: Negara Kuat Tidak Takut Kritik
Kontrol narasi mungkin menciptakan ketertiban semu, tetapi ruang publik yang hidup adalah fondasi negara yang sehat. Kritik bukan musuh pemerintah, melainkan cermin untuk memperbaiki diri.
Jika negara ingin benar-benar kuat, maka yang perlu diperluas bukan kontrol melainkan keberanian untuk mendengar suara rakyat.



