Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Cak Nun, atau Emha Ainun Nadjib, bukan hanya penyair spiritual, tapi juga seorang filsuf bangsa yang telah mewariskan “tegangan tinggi” pemikiran ketatanegaraan. Gagasan-gagasan beliau ibarat energi listrik dengan voltase tinggi yang tidak bisa langsung diserap oleh sembarang orang. Diperlukan transformator-transformator gagasan, orang-orang yang mampu menurunkan tegangan itu menjadi narasi yang aplikatif, sistemik, dan bisa dimengerti oleh bangsa yang sedang mencari jalan pulang ke kedaulatannya sendiri.
Saya termasuk dalam golongan yang percaya bahwa gagasan Cak Nun tentang konstitusi langit, yakni ketatanegaraan yang dibangun atas kesadaran spiritual, keadilan ilahiah, dan kepemimpinan berbasis keluhuran adalah ide yang tidak hanya mungkin, tapi mendesak untuk diwujudkan.
Sayangnya, seperti yang saya saksikan sendiri dalam diskusi-diskusi dan forum-forum Maiyah, hanya sedikit dari kita yang siap menjadi penerima tegangan tinggi tersebut. Banyak yang menganggapnya mitos. Banyak pula yang skeptis dan hanya sibuk mencibir tanpa pernah berani menyusun satu baris pun naskah perubahan.
Antara Inspirasi Langit dan Penerima yang Terbatas
Cak Nun pernah berkata dalam Kenduri Cinta Maret 2023:
“Rajanya itu nanti dan sekarang orangnya sudah ada. Perubahannya bisa sampai ke tata negara, perubahan cara berpikir rakyat, dan Maiyah akan menjadi salah satu pasukan di jantungnya itu.”
Kalimat ini bukan khayalan. Ia adalah peta jalan. Tapi jalan itu hanya bisa dilalui jika ada kendaraan yang layak, yakni kerangka hukum dan politik baru serta pengemudi yang benar, yakni kesadaran rakyat dan negarawan sejati.
Sebagai seseorang yang telah menyusun konsep struktur ketatanegaraan baru berdasarkan semangat Cak Nun dan prinsip manajemen modern. Saya memahami bahwa ide spiritual tidak bisa langsung dipraktikkan begitu saja di dunia hukum dan birokrasi. Perlu ada alat konversi, dari ide metafisik menjadi sistem tata negara yang logis dan fungsional.
Dan itulah yang saya coba hadirkan: rancangan yang membedakan lembaga negara dengan lembaga pemerintah. Menjadikan rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan melalui MPR yang diisi oleh perwakilan otentik sedulur 4 limo pancer: kaum intelektual (otak), kaum spiritual (hati), kaum TNI Polri (tulang), dan kaum budaya-adat (darah & daging).
Bangsa Ini Tidak Kekurangan Ilham, Tapi Kekurangan Penerima
Jika ide dari langit tak sampai ke bumi, yang salah bukan langitnya, tapi trafo penerimanya yang rusak atau tidak siap. Maka diperlukan orang-orang yang mampu menjadi jembatan antara langit dan bumi, antara wahyu dan konstitusi, antara spiritualitas dan kenegaraan.
Gagasan Cak Nun adalah visi transendental tentang struktur sosial-politik masa depan. Tapi tanpa tim perumus, penyusun draf, penggerak institusional, dan pengawal politik. Maka ia akan terus terbang di langit sebagai inspirasi tanpa kaki.
Saya pribadi menyatakan: sudah waktunya kita bukan hanya menjadi pendengar Maiyah yang khidmat. Tetapi juga pelaksana konstitusi baru dengan semangat spiritual tinggi.
Dan saya meyakini, bahwa dari jamaah Maiyah akan muncul bukan hanya “pasukan jantung”, tetapi juga para insinyur negara masa depan.
“Ketika langit memberi cetak biru, bumi wajib membangunnya.”