beritax.id – Nasib sebuah dokumen sah — Certificate of Domicile (COD)/Surat Keterangan Domisili (SKD)/Formulir DGT-1 — yang dibuang dari pembahasan karena hanya berstatus “fotokopi tidak dilegalisir.” Di negara hukum yang katanya berlandaskan keadilan, ternyata masih banyak keputusan yang diambil bukan berdasarkan hukum, tapi berdasarkan “kebiasaan birokrasi.” Salah satu contohnya terjadi dalam kisruh pajak antara PT. Hok Tong dan otoritas pajak Indonesia.
Pemohon (PT. Hok Tong) telah menyerahkan dokumen sah berupa Certificate of Domicile (COD)/Surat Keterangan Domisili (SKD)/Formulir DGT-1. Hal yang menjadi syarat penting dalam penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Singapura. Dokumen ini seharusnya menjadi tameng sah agar tidak dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas pembayaran manajemen fee ke perusahaan mitra di Singapura.
Namun, apa yang terjadi? Tim pemeriksa pajak dengan santai menolak dokumen tersebut. Alasannya? “Tidak dilegalisir.”
Tentu kita bertanya-tanya: legalisasi itu diwajibkan di aturan yang mana? Adakah dasar hukum yang eksplisit menyatakan bahwa dokumen tersebut harus dilegalisir agar diakui sah? Jawabannya, tidak ada. Bahkan ketika diminta menunjukkan dasar hukumnya, mereka tidak dapat memberikan rujukan yang jelas. Hanya menyebut sepintas aturan lama yang tidak mengatur secara eksplisit soal keharusan legalisasi.
Jadi, bagaimana mungkin negara bisa mengambil keputusan hukum yang berdampak finansial terhadap warga/korporasi hanya berdasarkan tafsir yang tidak punya dasar hukum tegas? Apakah “rasa-rasa wajib legalisir” sekarang setara dengan bunyi pasal dalam undang-undang?
Batas Waktu Pelaporan SPT
Di sisi lain, Pemohon sudah menyerahkan dokumen itu sebelum batas waktu pelaporan SPT, dan dokumen tersebut memuat seluruh informasi formal: identitas, domisili, NPWP luar negeri, dan keabsahan sebagai subjek pajak negara mitra. Lantas, apa kurangnya?
Yang kurang, menurut tim pajak, hanyalah satu: cap legalisir. Seakan-akan keabsahan sebuah dokumen tak bergantung pada isi, tapi pada cap basahnya. Substansi ditendang, prosedur disembah.
Ironisnya, tindakan ini berpotensi melanggar Pasal 52 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan, yang menyatakan bahwa suatu keputusan yang tidak sesuai substansi atau keliru dalam dasar hukum, adalah cacat substansi. Dan keputusan cacat seperti ini bisa dibatalkan.
Tetapi di sinilah letak persoalannya. Jika hukum bisa ditegakkan tanpa dasar hukum, lalu apa bedanya hukum dengan kekuasaan sepihak? Di mana posisi keadilan ketika kebenaran ditolak hanya karena tidak memakai stempel?
Penting untuk dipahami bahwa COD/SKD DGT-1 adalah dokumen yang sangat krusial dalam penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Dokumen ini berfungsi sebagai bukti domisili wajib pajak luar negeri, yang memungkinkan mereka untuk menikmati fasilitas P3B, termasuk pembebasan atau pengurangan tarif Pajak Penghasilan Pasal 26. Penolakan COD/SKD DGT-1 hanya karena alasan “tidak dilegalisir” adalah praktik yang tidak memiliki dasar hukum eksplisit dan berpotensi melanggar prinsip keadilan serta Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Wajib Pajak Luar Negeri
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang memperoleh COD/SKD DGT-1 tidak perlu lagi melakukan Pemotongan berdasarkan PPh Pasal 26 dan tentunya memiliki hak untuk menikmati fasilitas yang diatur dalam P3B. Substansi dan informasi formal yang terkandung di dalamnya, seperti identitas, domisili, NPWP luar negeri, dan keabsahan sebagai subjek pajak negara mitra. Sudah cukup untuk membuktikan hak wajib pajak yang dapat menikmati fasilitas P3B. Menolak dokumen sah ini hanya karena alasan formalitas tanpa dasar hukum yang jelas adalah bentuk cacat substansi dalam keputusan administrasi pajak.
Sebagai wajib pajak, kita perlu memahami hak kita dan mendesak otoritas pajak untuk menegakkan hukum. Berdasarkan dasar hukum yang jelas, bukan berdasarkan tafsir atau kebiasaan tanpa landasan Hukum. Jika Anda menghadapi situasi serupa. Penting untuk mengetahui bahwa penolakan dokumen sah seperti COD/SKD DGT-1 tanpa dasar hukum yang kuat dapat diperdebatkan dan berpotensi dibatalkan. Keadilan fiskal harus menjadi landasan utama dalam setiap keputusan perpajakan.
Masyarakat sepatutnya bertanya: apakah ini bentuk penegakan hukum atau sekadar praktik administratif yang kehilangan rasa keadilan? Jika dokumen sah ditolak tanpa dasar hukum. Maka yang kita hadapi bukan hanya kesalahan administrasi tapi potensi ketidakadilan sistemik yang dipelihara oleh lembaga yang seharusnya jadi pilar keadilan fiskal.