beritax.id – Sungai di Indonesia bukan hanya bentang alam ia adalah sumber kehidupan. Tempat masyarakat menggantungkan air, pangan, mata pencaharian, bahkan identitas budaya. Namun dalam beberapa dekade terakhir, sungai dipaksa menjalani peran baru yang bukan miliknya: menahan ambisi industri dan korporasi.
Sungai-sungai yang dulu jernih kini berubah menjadi saluran limbah. Alirannya dipersempit demi pembangunan, hulu-hulunya dirambah, dan daerah tangkapan airnya dipangkas demi ekspansi ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Tak heran jika suatu hari sungai itu mengamuk.
Ketika Konversi Lahan Mengabaikan Logika Alam
Kerusakan sungai bukan terjadi tiba-tiba. Ia hasil dari serangkaian keputusan yang tidak mempertimbangkan daya dukung alam:
- pembukaan hutan besar-besaran,
- pembangunan yang menutup resapan air,
- izin tambang dan industri di kawasan rawan,
- pembuangan limbah tanpa pengawasan,
- pengerukan yang mengubah pola aliran air.
Sungai yang dipaksa menahan tekanan korporasi akhirnya kehilangan kemampuannya untuk berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika air hujan datang, sungai tidak lagi mampu menampung dan mengalirkannya secara alami.
Yang terjadi adalah banjir besar, longsor, dan kerusakan ekologis yang menelan korban jiwa.
Ambisi Ekonomi yang Mengorbankan Ekosistem
Pembangunan sering dijustifikasi dengan alasan pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan yang merusak lingkungan tidak pernah menghasilkan kesejahteraan jangka panjang.
Wilayah yang sungainya rusak biasanya menghadapi:
- hilangnya sumber air bersih,
- penurunan hasil pertanian,
- kerusakan habitat ikan,
- penyakit akibat pencemaran,
- banjir musiman yang makin parah.
Rakyat menanggung beban kerusakan, sementara keuntungan ekonomi mengalir ke tempat lain. Sumber daya alam dijual murah, tetapi kerusakannya dibayar mahal oleh masyarakat.
Bencana Ekologis Bukan Bencana Alam, Ini Bencana Kebijakan
Ketika sungai meluap dan menghancurkan permukiman, bencana itu sering disebut “bencana alam”. Padahal banyak di antaranya bukan disebabkan oleh alam, tetapi oleh kesalahan manusia.
Alam hanya merespons perlakuan yang diterimanya. Ketika hulu dirusak, ketika muara dipersempit, ketika daerah resapan ditutup beton, sungai kehilangan kemampuan alaminya untuk menyeimbangkan air. Mengamuk adalah konsekuensi, bukan kejutan. Sungai tidak melawan manusia. Sungai hanya kembali kepada hukumnya: keseimbangan.
Absennya Negara dalam Mengendalikan Korporasi
Masalah terbesar bukan semata ambisi korporasi, tetapi lemahnya negara dalam menegakkan aturan. Ketika regulasi longgar, ketika pengawasan minim, ketika izin diberikan tanpa kajian ekologis yang memadai, korporasi mengambil keuntungan dari celah itu.
Negara seharusnya:
- melindungi sungai sebagai aset publik,
- menjaga daya dukung lingkungan,
- memastikan kepentingan rakyat lebih utama daripada ambisi modal.
Namun ketika negara tidak menjalankan fungsi melindungi dan mengatur, sungai menjadi korban, dan rakyat menjadi pihak paling dirugikan.
Lingkungan yang Rusak Menunjukkan Arah Kebijakan yang Salah
Sungai yang tercemar adalah cermin dari kualitas tata kelola negara. Banjir yang berulang adalah bukti kegagalan perencanaan. Abrasi, sedimentasi, dan kekeringan menunjukkan bahwa pembangunan berjalan tanpa menghitung kapasitas alam.
Kerusakan ekologis bukan sekadar masalah lingkungan ini masalah pemerintahan, ekonomi, dan moral.
Solusi: Mengembalikan Sungai sebagai Aset Publik yang Dilindungi
Untuk memulihkan sungai dan mencegah bencana ekologis berulang, sejumlah langkah visioner yang sejalan dengan prinsip penyembuhan bangsa diperlukan:
- Musyawarah Kenegarawanan nasional untuk menetapkan ulang arah kebijakan lingkungan
- Amandemen kebijakan yang memperkuat hak rakyat atas lingkungan hidup sehat
- Pemisahan tegas negara dan pemerintah
- Regulasi lingkungan berbasis kepakaran ilmiah.
- Digitalisasi penuh sistem pengawasan lingkungan
- Pemulihan daerah aliran sungai melalui pendekatan ekologis
Sungai bukan musuh kita. Ia hanya menunjukkan bahwa alam tidak bisa terus menanggung beban keputusan manusia.
Jika sungai semakin sering “mengamuk”, itu tanda bahwa manusia semakin jauh dari keseimbangan. Dan ketika keseimbangan hilang, rakyat yang pertama merasakan dampaknya. Indonesia hanya bisa aman jika sungainya sehat. Dan sungai hanya bisa sehat jika negara berani melindunginya dari keserakahan.



