Oleh Rinto Setiyawan – Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Salah satu ciri bangsa yang sehat adalah ketika rakyat tahu ke mana harus mencari keadilan, kepada siapa harus mengadu, dan ke lembaga apa harus mempercayakan penyelesaian sengketa. Namun dalam praktik ketatanegaraan Indonesia hari ini, keadilan seringkali berubah menjadi permainan kucing-kucingan: rakyat mengejar, negara menghindar. Aparat birokrasi saling lempar tanggung jawab, dan sistem hukum tampak tak memiliki simpul yang pasti.
Fenomena Keadilan Kucing-Kucingan dalam Sistem Pemerintahan
Permainan ini bukan metafora kosong, bukan main kucing-kucingan. Dalam praktik, banyak warga mengalami sendiri betapa mencari keadilan di republik ini seperti berlari dalam labirin tanpa peta. Berikut beberapa contoh nyata yang mencerminkan kondisi tersebut:
- Kasus SPKTNP Bea Cukai Lewat Waktu (2024-2025)
Wajib pajak mempersoalkan Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) yang dikirim oleh DJBC melalui email satu hari lewat batas waktu. Namun, ketika digugat, DJBC berdalih bahwa email tidak termasuk dalam kategori Pertukaran Data Elektronik (PDE), padahal regulasi menyatakan sebaliknya. Gugatan ini pun dioper antara Pengadilan Pajak dan PTUN, tanpa ada lembaga yang benar-benar mau mengadili secara substansi. - Jalan Rusak: Antara Kota dan Provinsi
Warga melapor soal jalan rusak di perbatasan kota dan kabupaten. Dinas PU Kota menyatakan itu kewenangan Provinsi, sementara PU Provinsi menyatakan itu jalan kota. Akhirnya, tidak ada perbaikan, rakyat tetap melintasi jalan rusak bertahun-tahun. - Sengketa Lahan Petani vs Perusahaan Tambang
Ketika petani menggugat pencaplokan lahan oleh perusahaan tambang, kasus ini berputar antara Pengadilan Negeri, Mahkamah Konstitusi (karena menyangkut hak ulayat), hingga Komnas HAM. Tidak ada satu forum yang jelas di mana perkara ini tuntas. - Kecurangan Seleksi ASN dan CPNS
Laporan peserta soal manipulasi hasil CAT CPNS sering hanya dijawab dengan jawaban normatif dari BKN. Ketika diajukan ke Ombudsman, lembaga tersebut mengaku hanya bersifat “rekomendatif”. Sementara PTUN menolak dengan alasan tidak adanya objek sengketa konkret. - Korban Salah Tangkap Polisi
Ketika korban salah tangkap ingin menuntut ganti rugi dan rehabilitasi, mereka diarahkan ke Kompolnas, lalu ke Kejaksaan, dan kembali lagi ke Kepolisian untuk mediasi. Tidak ada satupun institusi yang mau mengambil tanggung jawab penuh.
Akar Masalah: Struktur Ketatanegaraan yang Cacat
Semua contoh di atas menunjukkan bukan hanya kebingungan administratif, melainkan cacat struktural dalam sistem ketatanegaraan kita. Tidak adanya garis koordinasi yang tegas, tumpang tindih kewenangan, serta hilangnya prinsip akuntabilitas lintas-lembaga adalah gejala dari desain negara yang salah urat.
Sistem pemerintahan kita lebih mirip birokrasi tempelan: institusi dibentuk tanpa arsitektur relasi yang jelas. Lembaga-lembaga hukum dan pelayanan publik tidak punya satu pangkal akuntabilitas, membuat keadilan selalu berujung pada “birokrasi lempar tangan”.
Solusi: Reformasi Struktur Ketatanegaraan dan Institusi Publik
- Pembentukan Pusat Koordinasi Keadilan Nasional (PKKN): Lembaga lintas lembaga (kompositif) yang berwenang mengintegrasikan proses penyelesaian sengketa dari segala jenis—baik perdata, pidana, tata usaha negara, maupun administrasi.
- Revisi UUD dan UU Kelembagaan Negara: Mendesain ulang distribusi kewenangan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan tumpang tindih tanggung jawab.
- Kepastian Jalur Gugatan dan Layanan: Setiap warga harus tahu, dengan mudah, kepada siapa gugatan atau laporan ditujukan. Ini perlu digitalisasi SOP lintas-lembaga.
- Penataan Ulang Peran Mahkamah Konstitusi dan Ombudsman: Agar memiliki kewenangan operasional dalam penegakan rekomendasi dan pemulihan hak warga.
- Pendidikan Hukum Publik: Rakyat harus dididik sejak dini tentang hak konstitusional dan cara mengakses keadilan, termasuk penggunaan jalur administratif dan hukum.
Keadilan tak boleh jadi permainan. Negara harus berhenti bersembunyi di balik keruwetan sistem. Rakyat tidak butuh janji, tapi alamat yang pasti.