beritax.id – Selama bertahun-tahun, pemerintah mempromosikan investasi sebagai jalan pintas menuju kemajuan. Namun di Sumatra, logika itu justru berubah menjadi bumerang. Bencana besar yang melanda kawasan Tapanuli pada 2025 membuka tabir bahwa pembangunan yang dikejar tanpa batas bisa mengorbankan apa pun dari ekosistem unik hingga nyawa manusia. PLTA Batang Toru merupakan contoh paling gamblang bagaimana ekologi dikalahkan demi investasi. Proyek yang dibanggakan sebagai simbol energi bersih justru berdiri di atas salah satu ekosistem paling sensitif di dunia. Dan di balik proyek ini, nama Luhut Binsar Pandjaitan selalu muncul sebagai tokoh yang paling vokal mendorong pembangunan, sekaligus yang paling keras menepis kritik.
Jejak Investasi yang Mengubah Ekosistem Batang Toru
Sebagai pejabat yang mengawal kebijakan investasi, Luhut sejak awal menjadi pembela utama PLTA Batang Toru. Ia menyebut kritik LSM sebagai kampanye negatif dan menilai proyek ini sebagai kebutuhan energi nasional.
Namun fakta lapangan yang dicatat organisasi lingkungan menunjukkan gambaran berbeda:
- 72.938 hektare hutan hilang di Ekosistem Batang Toru, sebagian besar akibat pembangunan infrastruktur energi dan tambang.
- Hutan yang menjadi rumah satu-satunya Orangutan Tapanuli terbelah oleh jalan industri, terowongan air, dan jalur transmisi listrik.
- Lereng bukit kehilangan daya ikat, tanah menjadi labil, dan resapan air menghilang.
Ketika ekologi dipaksa bertekuk lutut, bencana bukan lagi ancaman tetapi konsekuensi.
Bencana 2025: Ketika Alam Tidak Lagi Punya Penopang
Longsor besar dan banjir bandang yang menghancurkan Tapanuli Selatan dan sekitarnya pada 2025 bukanlah peristiwa alam murni.
Perubahan bentang alam secara masif membuat aliran air kehilangan jalur, tanah kehilangan struktur, dan lereng kehilangan kekuatan.
Hujan bukan penyebab utama manipulasi ekologi-lah yang memicu kehancuran.
Ketika air membawa batu besar, pohon tumbang, dan tanah luncur, itu adalah “bahasa alam” untuk mengatakan bahwa manusia telah melewati batas. Dan batas itu dilanggar ketika proyek strategis diprioritaskan tanpa memperhitungkan risiko ekologis.
Investasi Menguntungkan Segelintir, Bencana Merugikan Banyak
Logika pembangunan pemerintah sering menyebut investasi akan membawa manfaat jangka panjang.
Namun yang terjadi di Batang Toru justru sebaliknya:
- keuntungan mengalir ke korporasi besar dan pejabat kebijakan,
- kerugian ekologis dan kemanusiaan ditanggung masyarakat,
- negara gagal menciptakan keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan
- dan rakyat menjadi pihak yang paling menderita.
Pembangunan yang seharusnya menjadi strategi kemajuan berubah menjadi catatan kelam kebijakan.
Rinto Setiyawan: “Negara Tidak Boleh Mengorbankan Ekologi dan Rakyat Demi Kepentingan Segelintir”
Menanggapi situasi ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, memberikan pernyataan tegas:
“Tugas negara ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Ketiganya runtuh ketika negara justru merusak ekologi yang menjadi pelindung utama masyarakat.”
Ia menambahkan bahwa negara tidak boleh membiarkan investasi menabrak keselamatan publik.
“Kalau ekologi dihancurkan demi proyek, maka negara sedang gagal menjalankan tugas dasarnya. Rakyat berhak atas lingkungan hidup yang aman.”
Rinto menegaskan bahwa tragedi Tapanuli harus menjadi titik balik bukan hanya dalam kebijakan lingkungan, tetapi dalam cara negara memandang pembangunan itu sendiri.
Solusi: Mengembalikan Ekologi ke Pusat Kebijakan
Untuk memastikan kasus Batang Toru tidak terulang, Partai X menawarkan langkah-langkah konkret:
- Audit Nasional terhadap Seluruh Proyek Strategis yang Berada di Zona Ekologis Sensitif
Audit independen wajib dilakukan dengan hasil terbuka untuk publik. - Moratorium Proyek Energi dan Tambang di Ekosistem Batang Toru
Tidak boleh ada pembangunan baru sebelum kajian ekologis komprehensif dilakukan. - Penataan Ulang Kebijakan Investasi
Investasi harus menyesuaikan ekologi bukan memaksa ekologi menyesuaikan investasi. - Restorasi Besar-Besaran Ekosistem Batang Toru
Pemulihan kawasan hutan harus menjadi prioritas, bukan sekadar penanaman simbolis. - Penegakan Hukum terhadap Kerusakan Ekologis
Termasuk evaluasi izin perusahaan yang mengabaikan dampak lingkungan. - Transparansi Penuh Data Lingkungan dan Anggaran Proyek
Publik harus mengetahui risiko, dampak, dan aliran pembiayaan proyek strategis.
Penutup: Ekologi Bukan Penghalang Pembangunan, Ia Fondasinya
Batang Toru mengajarkan bahwa negara tidak boleh memaksa alam untuk tunduk pada kepentingan ekonomi. Karena ketika ekologi dikalahkan, bukan hanya lingkungan yang runtuh tapi juga kehidupan manusia.
Jika negara ingin disebut berpihak pada rakyat, maka pembangunan harus mengikuti prinsip sederhana:
jangan korbankan ekologi, jangan korbankan nyawa, dan jangan biarkan investasi menutup mata negara terhadap risiko bencana.



