Oleh: Eko Wahyu Pramono
Mahasiswa Hukum, Pekerja Kantoran, Anggota IWPI
beritax.id – Saya seringkali termenung, bukan karena tugas kuliah atau tekanan pekerjaan, melainkan karena pertanyaan yang makin hari makin sulit dijawab: “Kenapa negara yang begitu kaya seperti Indonesia justru terasa begitu berat untuk ditinggali oleh rakyat sendiri?”
Pertanyaan ini bukan muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari data, dari laporan resmi lembaga negara, dari berita yang menghiasi layar ponsel setiap hari, dan dari kenyataan pahit yang saya lihat dan dengar dari orang-orang di sekitar saya.
Potret Buram di Balik Data
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) terbaru menyebut bahwa 19,8% anak Indonesia mengalami stunting satu dari lima anak tumbuh dengan gizi buruk yang berdampak permanen pada masa depannya. Ini bukan hanya statistik. Ini adalah potret generasi masa depan yang terancam kehilangan hak paling dasar: tumbuh dengan sehat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 78 ribu anak putus sekolah pada 2023/24. Dan pada Februari 2025, angka pengangguran mencapai 7,28 juta orang, naik 83.440 orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Lebih menyakitkan lagi, data dari World Bank (Juni 2025) memperlihatkan:
- 5,4% hidup di bawah US$3/hari (kemiskinan ekstrem),
- 19,9% hidup di bawah US$4,20/hari (kemiskinan menengah bawah), dan
- 68,3% atau sekitar 194 juta orang Indonesia hidup di bawah US$8,30/hari, garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah atas
Angka-angka ini bukan milik negara miskin di Afrika sub-Sahara. Ini adalah data tentang Indonesia negeri dengan cadangan nikel terbesar dunia, penghasil batu bara, minyak, emas, kelapa sawit, dan kekayaan laut tak terhingga. Tapi mengapa rakyatnya tak ikut sejahtera?
Skandal dan Dugaan
Alih-alih menjawab krisis ini dengan keberpihakan, kita justru melihat bagaimana kebijakan negara berjalan menjauh dari nalar keadilan sosial. Tahun 2025 dihiasi dengan berbagai skandal pemborosan dan dugaan korupsi yang mencederai rasa keadilan publik:
- Jet pribadi KPU untuk kunjungan Pemilu 2024, dengan jumlah perjalanan dan pengeluaran yang tak transparan.
- Pengadaan Chromebook senilai Rp9,9 triliun yang manfaatnya diragukan dan kini tengah diselidiki Kejaksaan Agung.
- Dugaan korupsi impor minyak oleh Pertamina Patra Niaga dengan potensi kerugian negara hingga Rp193,7 triliun, salah satu yang terbesar sepanjang sejarah republik.
- Proyek-proyek infrastruktur tidak efisien di bawah Kementerian PUPR yang justru diakui sendiri oleh menterinya sebagai boros, dengan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang terlalu tinggi.
- Di tingkat daerah, seperti Sumatera Barat, audit BPK mengungkap kelebihan pembayaran miliaran rupiah untuk perjalanan dinas, pengadaan videotron, dan dana pokir DPRD yang disinyalir sarat penyimpangan.
Sudah ada Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja negara. Tapi semua itu hanya selembar kertas jika pengawasan dan penegakan hukumnya lemah.
Rakyat Justru Menjadi Korban
Kekecewaan saya semakin dalam ketika menyaksikan bagaimana rakyat kecil justru menjadi korban dari sistem perpajakan yang tidak berpihak:
- UD Pramono di Boyolali, seorang pengusaha kecil yang harus kebingnan dengan usahanya setelah rekeningnya diblokir karena tunggakan PPN senilai Rp671 juta meski ia sudah membayar Rp200 juta.
- @nuke.limanov, pedagang ayam yang viral di TikTok, terkejut ketika dikenai tagihan pajak Rp500 juta untuk tahun 2020 tanpa pemahaman fiskal yang cukup di masa awal usahanya.
- Sistem pajak digital CoreTax yang gagal total di awal 2025, menyebabkan gangguan besar, denda yang tak akurat, dan rusaknya kepercayaan publik.
Di saat UMKM diburu dengan tagihan, korporasi besar dan institusi negara justru terbebas dari sanksi moral maupun hukum atas pemborosan dan penyalahgunaan dana publik. Sistem keadilan fiskal menjadi timpang, bahkan menindas.
Namun yang lebih menyakitkan: ketika rakyat menderita, pemangku kebijakan justru bersiap menaikkan beban.
- Dirjen Pajak menyebut bahwa tarif PPN 11% masih rendah, dan “masih ada ruang” untuk menaikkan menjadi 12% dibandingkan negara OECD dan BRICS yang notabene jauh lebih makmur.
- DPRD Kota Malang mengesahkan tarif 10% pajak daerah untuk pelaku usaha kecil dengan omzet hanya Rp15 juta per bulan.
Apakah para pengambil kebijakan ini tidak menyadari bahwa rakyat sedang bertahan hidup, bukan menumpuk kekayaan?
Apakah Kita Harus Menunggu 1998 Terulang?
Saya hanya rakyat biasa. Seorang mahasiswa hukum. Seorang pekerja kantoran. Saya tidak memiliki kekuasaan. Tapi saya memiliki suara dan saya ingin suara ini didengar.
Saya ingin mengingatkan bahwa sejarah telah mencatat bagaimana runtuhnya Orde Baru bukan hanya soal politik, tetapi juga soal perut. Kelaparan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial adalah bahan bakar bagi ledakan rakyat.
Apakah kita harus menunggu Reformasi Jilid Dua terjadi baru para pejabat tersadar?
Apakah rakyat harus kembali turun ke jalan hanya agar suara mereka didengar?
Saya tidak sedang mengajak pemberontakan. Saya mengajak kita semua para pembaca, pemimpin, wartawan, dan warga biasa untuk berpikir ulang tentang arah bangsa ini.
Apakah kita masih berjalan menuju keadilan sosial seperti tertulis dalam Pancasila? Atau sudah menyimpang terlalu jauh?
Penutup
Saya menulis ini bukan karena benci pada Indonesia. Justru karena saya mencintainya. Karena saya percaya negeri ini bisa lebih baik. Karena saya ingin anak-anak Indonesia tumbuh sehat, belajar tanpa takut putus sekolah, dan punya masa depan yang layak.
Kita butuh negara yang hadir, bukan yang menyakiti.
Kita butuh pemimpin yang mendengar, bukan yang membebani.
Kita butuh keadilan, bukan statistik yang membius.
Dan selama itu belum ada, suara seperti ini akan terus bergema.