Oleh: Rinto Setiyawan
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri dengan fondasi luhur yang tercantum jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Namun, realitas hari ini justru mengarah ke jurang ketimpangan dan kemerosotan moral kenegaraan. Akar persoalannya? Kesalahan struktur tata negara.
Struktur negara kita hari ini hasil dari Amandemen Keempat UUD 1945, ibarat mesin mobil yang tidak berfungsi sesuai rancangan, atau pondasi rumah yang tidak didesain menopang bangunan di atasnya, bahkan seperti akar pohon yang tidak menancap sempurna ke tanah. Akibatnya, sistem tidak dapat menyalurkan fungsi-fungsi utamanya secara adil dan merata.
Secara teori ilmu kenegaraan, fungsi negara sesungguhnya sederhana dan mendasar:
- Melindungi rakyat,
- Melayani rakyat, dan
- Mengatur rakyat secara adil.
Namun karena struktur yang keliru, negara justru berubah wajah menjadi alat kekuasaan segelintir elite—yang dikenal sebagai oligarki (Otoritas Luar Institusi Gagalkan Aspirasi Rakyat Karena Ingin Kuasa). Mereka mengendalikan arah kebijakan, hukum, dan sumber daya demi memperkaya kelompoknya.
Akibatnya, perputaran uang hanya terjadi di lingkaran sempit orang-orang kaya. Sementara itu, mayoritas rakyat Indonesia dipaksa bersaing dalam arena ekonomi yang timpang dan tidak setara, demi memperebutkan sisa-sisa uang yang beredar. Maka lahirlah istilah “Sila Keuangan Yang Maha Kuasa”, bentuk stigma satir dari sila pertama Pancasila. Karena realitasnya hari ini, yang disembah bukan lagi Tuhan, melainkan kekuasaan uang.
Malfungsi Lembaga Tinggi Negara
Kesalahan struktur ini juga melahirkan malfungsi sistemik pada lembaga-lembaga tinggi negara. Bukannya menjadi benteng moral dan hukum, mereka justru turut terjebak dalam praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang kini sudah menjadi budaya.
Mari kita sebut satu per satu:
- TNI: terlibat dalam bisnis pertahanan dan pengadaan alat utama sistem persenjataan.
- Polri: terlibat dalam banyak skandal suap dan rekayasa hukum.
- Mahkamah Agung (MA): Hakim agung tertangkap dalam suap perkara.
- DPR RI: lembaga legislatif berubah menjadi ladang transaksional UU dan proyek.
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK): auditor negara yang justru bisa “dibeli” untuk memanipulasi temuan.
- Kejaksaan Agung: terseret dalam kasus mafia perkara dan perlindungan koruptor.
- Kementerian-kementerian: jadi tempat berburu proyek dan kekuasaan birokratis.
- Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY): tidak luput dari dugaan keberpihakan dan suap.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): lembaga antirasuah yang justru dilemahkan dari dalam, dan kini kehilangan legitimasi publik.
Baru-baru ini, salah satu pejabat publik bahkan mengatakan:
“Korupsi tidak bisa dihapuskan di Indonesia. Amerika Serikat saja tidak bisa.”
Pernyataan ini bukan hanya ironis, tetapi sekaligus mengkhianati semangat konstitusi dan Pancasila. Bila korupsi sudah dianggap hal yang lumrah dan tak bisa diberantas, maka kita bukan lagi berbicara tentang negara hukum, melainkan negara dagang.
Solusi: Bangun Ulang Struktur Negara
Sudah saatnya bangsa ini berhenti mendandani wajah sistem yang rusak, dan mulai membongkar akar masalahnya: struktur tata negara yang salah desain.
Gagasan perubahan struktur ini telah dirumuskan oleh komunitas Jamaah Maiyah di bawah bimbingan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), dalam kerangka amandemen kelima UUD 1945. Tujuannya jelas: menempatkan kembali rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan, bukan hanya sebagai penonton pesta demokrasi lima tahunan.
Negara ini lahir bukan untuk menciptakan kasta penguasa dan pengikut, tapi untuk menjadi alat bagi rakyat dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan. Jika struktur negara tidak mendukung itu, maka tugas kita sebagai warga adalah mendesain ulang sistem, bukan sekadar menambal kebocoran.
#RakyatBerdaulat #StrukturNegaraAdil #LawanSilaKeuanganYangMahaKuasa