Negara Gagal Didesain seperti Korporasi, Justru Dikuasai oleh Korporasi
Oleh : Rinto Setiyawan, A.Md.T, CTP (Direktur Riset Sekolah Negarawan X Institute)
beritax.id – Indonesia telah merdeka selama lebih dari tujuh dekade. Namun bagi jutaan rakyatnya, kemerdekaan itu terasa sebatas seremoni tahunan, bendera dikibarkan, lagu dikumandangkan, tetapi rasa memiliki terhadap negara sendiri tak kunjung hadir. Di balik demokrasi prosedural, pilkada, dan pemilu yang diklaim sebagai wujud kedaulatan rakyat, tersembunyi satu cacat sistemik yang belum juga diperbaiki: struktur negara yang salah desain.
Negara yang ideal semestinya dirancang layaknya korporasi publik raksasa, di mana:
- Rakyat adalah pemegang saham sejati (shareholders);
- Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berperan sebagai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS);
- Presiden bertindak sebagai Chief Executive Officer (CEO) yang menjalankan visi negara;
- DPR sebagai Dewan Pengawas (Komisaris);
- Dan seluruh lembaga tinggi negara lainnya berfungsi sesuai garis tanggung jawab vertikal dan horizontal yang transparan.
Namun yang terjadi di Indonesia justru kebalikannya. Negara dirancang tanpa kerangka manajemen yang rapi, dengan tumpang tindih fungsi, pengawasan internal yang lemah, serta sistem representasi rakyat yang justru dikuasai oleh partai-partai politik yang telah lama tercerabut dari akar masyarakat.
Kekosongan Struktural Sistem Negara Dihuni oleh Oligarki
Dalam kekosongan struktur tersebut, masuklah aktor-aktor non-negara yang lebih disiplin, lebih sistematis, dan lebih agresif, yaitu oligarki. Oligarki ini terdiri dari konglomerat, elit partai, dan jaringan media besar yang menguasai opini publik, kebijakan fiskal, dan penempatan jabatan strategis.
Lembaga tinggi negara seperti Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, bahkan lembaga penegak hukum, tak luput dari infiltrasi kekuasaan modal. Rakyat yang semestinya menjadi subjek kedaulatan, justru direduksi menjadi objek birokrasi dan target kebijakan ekonomi pasar. Negara yang seharusnya menjadi pelindung, berubah menjadi instrumen bagi para pemodal.
Situasi ini ibarat sebuah perusahaan publik yang dikuasai oleh manajemen bayangan dan pemegang saham gelap, sementara pemilik sejati (rakyat) tidak tahu-menahu apa yang terjadi, tidak diundang dalam rapat, dan hanya menerima informasi dalam bentuk propaganda pencitraan.
Tan Malaka: Negara Tanpa Rakyat Adalah Boneka
Pendiri bangsa Tan Malaka, dalam karya-karyanya seperti Madilog dan Menuju Republik Indonesia, sudah sejak awal menyuarakan bahwa negara bukan alat kekuasaan elite, melainkan alat perjuangan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Ia mewanti-wanti bahwa sistem parlementer liberal tanpa pengawasan rakyat langsung, akan membuka jalan bagi penguasa modal dan borjuis kecil menguasai negara dari dalam.
Kini, peringatan itu menjadi kenyataan. Demokrasi Indonesia telah dibajak, bukan oleh kudeta militer, melainkan oleh aliansi partai politik dan oligarki yang menguasai segala lini: dari regulasi hingga pengadilan, dari media hingga dana kampanye.
Sementara itu, rakyat disodori hiburan, disuguhi bansos yang tidak sebanding dengan nilai kekayaan negara yang terus dikuras, dan diposisikan bukan sebagai pemilik negara, tetapi sekadar penonton dalam teater kekuasaan.
Solusi Bukan Tambalan, Tapi Rekonstruksi Konstitusi
Reformasi tidak cukup. Undang-undang baru pun tidak menyentuh akar masalah. Solusinya adalah rekonstruksi total atas sistem negara melalui Amandemen Kelima UUD 1945. Amandemen ini harus menjadi proyek sejarah untuk membalikkan posisi rakyat, dari hanya memiliki kedaulatan secara simbolik, menjadi penguasa substansial negara.
Beberapa prinsip dasar yang harus dibangun:
- Mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan penjelmaan rakyat sejati, bukan sekadar simbol konstitusional;
- Menempatkan Presiden sebagai pelaksana mandat rakyat, bukan sebagai pemilik negara;
- Memisahkan kepala negara (Pimpinan MPR) dan kepala pemerintahan (Presiden);
- Membentuk badan keuangan negara dan kas negara di bawah MPR, bukan di bawah kementerian teknokratik;
- Melindungi semua lembaga negara dari kontrol partai dan oligarki, dengan sistem check-and-balance yang berbasis kedaulatan rakyat;
- Membatasi dominasi partai politik, yang saat ini justru menjadi “perantara” eksklusif antara rakyat dan kekuasaan.
Seruan: Kembalikan Indonesia Padaku
Inilah saatnya rakyat tidak hanya sekadar memilih dalam pemilu, tetapi memiliki dan mengendalikan negara secara nyata. Sistem harus dirancang seperti korporasi publik yang sehat: profesional, transparan, akuntabel, dan dikendalikan oleh pemilik sahnya, rakyat Indonesia.
“Kembalikan Indonesia Padaku” bukan hanya seruan emosional, tapi seruan peradaban, seruan untuk membangun sistem negara yang rasional, modern, dan berpihak kepada rakyat sebagai pemegang saham utama bangsa ini.