beritax.id – Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan menekankan pentingnya kerja sama masyarakat adat dalam mendukung pembangunan Kawasan Induk Pusat Pemerintahan (KIPP). Proyek pembangunan KIPP di Distrik Walesi dan Wouma belum berjalan selama dua tahun karena klaim masyarakat adat.
Gubernur Papua Pegunungan John Tabo menyatakan bahwa pembayaran tanah sudah dilakukan sejak 2024. Ia mendesak masyarakat adat di Walesi dan Wouma menghentikan tuntutan tambahan pembayaran. Ia berharap dukungan masyarakat mempercepat realisasi pusat pemerintahan baru tersebut.
Menurut Tabo, masyarakat adat perlu bergandengan dengan pemerintah, Majelis Rakyat Papua, dan DPR Papua Pegunungan demi menyukseskan pembangunan. Ia menegaskan bahwa tanah seluas 94,5 hektare di Walesi dan 42,9 hektare di Wouma sudah dibayar negara.
“Kalau tidak mau pembangunan dilakukan, kembalikan uangnya. Kalau tidak, akan berurusan dengan hukum,” tegasnya. Ia menekankan bahwa dana yang digunakan adalah uang negara dan harus dipertanggungjawabkan dengan adil dan tepat sasaran.
Partai X: Jangan Jadikan Papua Pegunungan Korban Kerja Sama Setengah Hati
Menanggapi situasi ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengecam pola kerja sama top-down yang tidak menyelesaikan akar masalah. Ia menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh meminggirkan masyarakat yang memiliki tanah secara adat.
“Negara itu tugasnya tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jangan dibalik,” ujar Rinto. Menurutnya, kegagalan komunikasi dan pendekatan yang elitis justru menumbuhkan kecurigaan dan resistensi dari pemilik hak ulayat.
Partai X mengingatkan bahwa pembangunan tidak boleh berdiri di atas ancaman hukum kepada masyarakat adat. Rinto menilai bahwa persoalan ini adalah akibat absennya pendekatan dialogis, partisipatif, dan adil dalam tahap awal proyek KIPP.
Ia merujuk pada prinsip Partai X tentang keadilan sosial dan partisipasi rakyat dalam kebijakan publik. Pembangunan yang tidak menyertakan rakyat sejak awal hanya akan memunculkan konflik berkepanjangan dan memperparah ketimpangan.
Solusi Partai X: Audit Publik, Mediasi Adat, dan Skema Keadilan Restoratif
Rinto menambahkan bahwa masyarakat Papua Pegunungan tidak boleh lagi diperlakukan sebagai pelengkap proyek nasional. Menurutnya, pembangunan sejati dimulai dari kejujuran dan penghormatan terhadap nilai-nilai lokal dan adat.
“Kenapa Papua Pegunungan selalu dapat giliran terakhir dan malah disalahkan saat terjadi masalah? Ini bentuk ketidakadilan struktural,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa pembangunan yang adil dimulai dari proses yang transparan dan setara sejak perencanaan.
Sebagai solusi, Partai X mendesak adanya audit publik atas proyek KIPP, mediasi adat yang jujur, serta skema keadilan restoratif. Pendekatan represif hanya akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap negara. Masyarakat harus menjadi subjek pembangunan, bukan objek administratif.
Rinto mengusulkan pembentukan tim mediasi independen yang melibatkan tokoh adat, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil. Ia juga meminta Presiden dan Menteri Dalam Negeri turun tangan untuk menjamin keadilan dalam pembangunan KIPP Papua Pegunungan.