beritax.id – Gelombang kritik publik kembali menguat menyusul mencuatnya wacana dan pembahasan kenaikan tunjangan pejabat di tengah tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat luas. Di saat harga kebutuhan pokok terus naik, lapangan kerja belum sepenuhnya pulih, dan daya beli melemah, kebijakan penambahan tunjangan justru memunculkan kesan bahwa negara semakin jauh dari realitas hidup rakyat. Ketika fasilitas pejabat ditingkatkan, kepekaan terhadap penderitaan publik justru menurun.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik dihadapkan pada berbagai kebijakan fiskal yang menambah beban masyarakat, mulai dari pajak yang semakin ketat, kenaikan biaya layanan dasar, hingga berkurangnya ruang belanja rumah tangga. Namun di saat bersamaan, isu tunjangan pejabat kembali mencuat dan memicu gelombang protes serta kritik luas di berbagai daerah.
Situasi ini memperkuat persepsi bahwa kebijakan negara belum sepenuhnya berpijak pada empati sosial.
Krisis Kepercayaan yang Terus Dipupuk
Kenaikan tunjangan bukan sekadar soal angka, melainkan simbol relasi kuasa antara negara dan rakyat. Ketika masyarakat diminta berhemat dan berkorban demi stabilitas anggaran, keputusan untuk meningkatkan fasilitas pejabat justru memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Bagi banyak warga, ini bukan persoalan hukum semata, melainkan persoalan keadilan dan kepantasan.
Pemerintah kerap membela kebijakan tunjangan dengan dasar regulasi dan prosedur formal. Namun publik menilai bahwa kepatuhan hukum tanpa kepekaan moral justru berbahaya dalam negara demokrasi. Kebijakan yang sah secara administratif belum tentu sah secara etis di mata rakyat.
Di sinilah jarak antara penguasa dan yang dikuasai semakin terasa nyata.
Tanggapan: Negara Bukan Sekadar Mengatur Anggaran
Menanggapi polemik ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menegaskan bahwa negara tidak boleh kehilangan orientasi dasarnya.
“Negara memiliki tiga tugas utama: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Mengatur anggaran tanpa sensitivitas sosial berarti melupakan fungsi melayani. Melindungi rakyat bukan hanya soal keamanan, tetapi juga soal keadilan ekonomi,” ujar Prayogi.
Ia menambahkan bahwa kebijakan fiskal seharusnya dimulai dari empati, bukan dari kenyamanan pejabat.
Dampak Sosial yang Tak Bisa Diremehkan
Keputusan menaikkan tunjangan di tengah kesulitan ekonomi berpotensi memicu apatisme publik, menurunkan kepatuhan kebijakan, dan memperlebar jurang ketidakpercayaan. Rakyat yang merasa diabaikan akan semakin skeptis terhadap ajakan negara untuk berpartisipasi dan berkorban. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat merusak fondasi legitimasi pemerintahan.
Solusi: Mengembalikan Kebijakan pada Rasa Keadilan
Untuk memulihkan kepercayaan publik, langkah-langkah berikut perlu segera dipertimbangkan:
- Menunda atau meninjau ulang kenaikan tunjangan pejabat
Kebijakan fiskal harus selaras dengan kondisi ekonomi rakyat. - Memprioritaskan anggaran bagi perlindungan sosial dan layanan publik
Kesejahteraan rakyat harus menjadi tujuan utama belanja negara. - Transparansi penuh dalam kebijakan tunjangan dan anggaran
Publik berhak tahu dan menilai kepantasan kebijakan. - Melibatkan suara publik dalam keputusan strategis
Partisipasi rakyat adalah bagian dari demokrasi yang sehat.
Kenaikan tunjangan di tengah kesulitan ekonomi bukan sekadar persoalan angka, tetapi cermin arah kebijakan negara. Ketika sensitivitas sosial menurun, jarak antara penguasa dan rakyat semakin melebar.
Negara yang kuat bukan negara yang memanjakan pejabatnya, melainkan negara yang hadir dan peka terhadap penderitaan rakyatnya.



