beritax.id – Kementerian Hukum RI mengingatkan kembali pentingnya mencantumkan sumber saat mengutip karya jurnalistik. Analis Hukum Ditjen Kekayaan Intelektual, Achmad Iqbal Taufik, menegaskan pengutipan berita tanpa menyebut sumber melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Ia menjelaskan hak moral dan hak ekonomi melekat pada penulis dan lembaga media. Pembuatan konten tanpa mencantumkan sumber resmi berarti merugikan pencipta.
Iqbal menyoroti masih rendahnya literasi publik tentang kekayaan intelektual. Ia menyebut maraknya pembajakan digital dan sulitnya pembuktian sebagai hambatan serius. Selain itu, koordinasi lintas sektor dalam penanganan sengketa juga dinilai lemah. Untuk itu, Kemenkum menekankan perlunya sinergi lebih kuat dengan aparat penegak hukum, Kominfo, dan Dewan Pers. Ia menambahkan perlunya mekanisme respons cepat untuk laporan pelanggaran hak cipta digital.
Kritik Partai X
Menanggapi hal itu, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menyatakan negara tampak tegas soal hak cipta, namun lalai pada pelanggaran terhadap rakyat. Ia menegaskan tugas negara ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Rinto menyoroti banyak pelanggaran hak rakyat yang tidak pernah ditindak tegas. Ia menyebut hukum seakan hanya berpihak pada kepentingan pejabat, bukan rakyat.
Partai X menilai keadilan hukum harus setara. Negara tidak boleh hanya mengurusi hak cipta, tetapi mengabaikan hak hidup rakyat. Menurut Partai X, hukum sejatinya merupakan alat keadilan, bukan sekadar instrumen perlindungan kepentingan ekonomi. Partai X menegaskan rakyat adalah pemilik kedaulatan. Negara harus mengembalikan orientasi kebijakan pada kepentingan rakyat, bukan pada perlindungan bisnis segelintir orang
Solusi Partai X
Sebagai jalan keluar, Partai X menawarkan solusi melalui “10 Poin Penyembuhan Bangsa.” Pertama, musyawarah kebangsaan bersama empat pilar untuk merumuskan arah baru bangsa. Kedua, amandemen kelima UUD 1945 agar kedaulatan rakyat terjamin secara nyata. Ketiga, pembentukan MPRS sementara guna mengawal transisi pemerintahan dan hukum. Keempat, pemisahan tegas antara negara dan pemerintah agar hukum tidak runtuh bersama rezim. Kelima, reformasi hukum berbasis kepakaran agar putusan tidak lagi ditentukan uang. Keenam, digitalisasi birokrasi dan peradilan untuk menutup ruang manipulasi. Ketujuh, pendidikan dan moral berbasis Pancasila di sekolah. Kedelapan, pembenahan partai agar bebas dari oligarki. Kesembilan, penguatan peran masyarakat sipil dalam pengawasan hukum. Kesepuluh, media negara dijadikan sarana penyebaran nilai keadilan dan transparansi.
Partai X menegaskan, pelanggaran hak cipta memang harus ditindak, tetapi pelanggaran hak rakyat jauh lebih penting. Negara tidak boleh berhenti pada perlindungan karya jurnalistik, sementara pelanggaran terhadap hak hidup rakyat terus dibiarkan. Keadilan harus menyentuh semua aspek kehidupan, agar hukum tidak sekadar simbol, melainkan benar-benar menjadi pelindung bagi seluruh rakyat Indonesia.