beritax.id — Kementerian Agama (Kemenag) menyampaikan telah menyetorkan uang muka (DP) dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) ke sistem e-hajj untuk mem-booking tempat di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) pada penyelenggaraan haji tahun 2026. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief, menjelaskan transfer tersebut dilakukan segera setelah rapat kerja dengan DPR RI. Hilman menegaskan, perubahan sistem pembayaran haji tahun ini mengharuskan calon penyelenggara memilih lokasi dan penyedia layanan sekaligus sejak awal.
Kritik Partai X: Ibadah Jangan Jadi Proyek
Menanggapi langkah itu, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R Saputra, menegaskan negara harus berhati-hati. Menurutnya, ibadah haji adalah ranah spiritual yang sakral, sehingga negara tidak boleh mengelolanya semata dengan pola bisnis. “Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jangan sampai ibadah berubah menjadi proyek yang menguntungkan segelintir pihak,” tegas Prayogi.
Prinsip Partai X: Negara Adalah Pelayan, Rakyat Pemilik Kedaulatan
Partai X menegaskan kembali prinsipnya bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, sementara pemerintah hanyalah pelayan rakyat. Analogi bus yang digagas Partai X menggambarkan bahwa rakyat adalah pemilik, pemerintah hanya sopir, dan arah tujuan negara ditentukan oleh rakyat, bukan rezim. Karena itu, dalam urusan ibadah sebesar haji, negara harus benar-benar memastikan bahwa kebijakan yang diambil mengutamakan kepentingan jamaah, bukan kepentingan penguasa atau kelompok bisnis tertentu.
Solusi Partai X: Reformasi dan Kepastian Layanan
Sebagai solusi, Partai X mendorong transformasi birokrasi digital untuk memastikan transparansi dalam pengelolaan dana haji. Selain itu, diperlukan reformasi hukum berbasis kepakaran agar pengelolaan haji tidak menjadi ladang rente. Partai X juga mengusulkan adanya majelis pengawas independen yang terdiri dari ulama, akademisi, dan perwakilan jamaah untuk memastikan akuntabilitas.
“Haji adalah ibadah, bukan komoditas. Negara harus kembali pada prinsip dasar: ibadah melayani umat, bukan proyek memperkaya penguasa,” tutup Prayogi.