beritax.id – Kejaksaan Agung resmi menjalin kerja sama dengan empat operator telekomunikasi nasional untuk mendukung penegakan hukum. Kesepakatan ini mencakup pertukaran data, penyediaan rekaman komunikasi, dan pemasangan perangkat untuk sadap.
Jaksa Agung Muda Intelijen Reda Manthovani menyebut kerja sama ini penting untuk mendukung tugas intelijen kejaksaan. Ia menyatakan informasi A1 yang didapatkan dari operator akan digunakan untuk pengumpulan data, analisis, hingga pelacakan buronan.
Ketimpangan Fokus: Rakyat Disadap, Penguasa Bebas
Anggota Majelis Tinggi Partai X Rinto Setiyawan menilai langkah Kejaksaan Agung justru memperluas ketimpangan pengawasan. Ia menyebut, teknologi penyadapan justru diarahkan ke rakyat biasa, bukan ke mafia anggaran atau para koruptor kelas kakap.
“Negara makin rajin mengawasi warga. Tapi saat giliran menangkap koruptor besar, justru seperti kehilangan sinyal,” kata Rinto. Ia mempertanyakan mengapa akses intelijen dibuka luas, sementara transparansi proses hukum terhadap pejabat justru kabur.
Bagi Partai X, kekuatan intelijen harus diawasi dan diarahkan untuk melindungi rakyat, bukan menjadi alat represif. Prinsip Partai X menegaskan bahwa negara harus hadir sebagai pelayan rakyat, bukan pengintai rakyat.
Rinto mengingatkan, jangan sampai otoritas sadap dijadikan alat kekuasaan untuk membungkam suara-suara kritis. Alih-alih memperkuat kepercayaan publik, langkah ini berisiko memperlebar ketimpangan dan ketakutan.
Solusi Partai X: Kekuatan Hukum Harus Taat Etik dan Terbuka
Partai X mengusulkan agar penyadapan hanya dilakukan dalam kondisi darurat, berdasarkan izin pengadilan, dan dilaporkan secara berkala. Mekanisme audit eksternal perlu dibentuk agar teknologi penyadapan tidak berubah menjadi alat kekuasaan.
Selain itu, pelacakan koruptor, mafia migas, dan kartel pangan harus dijadikan prioritas. “Kalau memang data A1 bisa diperoleh, kenapa buronan kakap masih berkeliaran bebas di luar negeri?” tanya Rinto.
Melalui program Sekolah Negarawan, Partai X telah menyiapkan kurikulum etik digital untuk aparat negara. Setiap pejabat publik harus dididik mengenai batasan kekuasaan, akuntabilitas, dan perlindungan hak asasi manusia di era digital.
Rinto Setiyawan mengingatkan, membangun keadilan tidak cukup dengan alat canggih. Yang lebih dibutuhkan adalah komitmen etika, integritas, dan keberpihakan nyata terhadap rakyat.
“Jangan lagi rakyat yang dipantau, sementara penguasa dan kroni justru leluasa menyembunyikan jejak,” pungkasnya.