Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Kita sering mendengar semboyan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat.” Namun jika ditelusuri lebih dalam, semboyan itu kini hanya hidup sebagai slogan konstitusional yang kehilangan makna dalam praktik. Secara hukum (de jure), rakyat memang diakui sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Namun secara faktual (de facto), kedaulatan tersebut telah lama direbut dan dikendalikan oleh partai politik.
Dalam naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 1 ayat (2) menyatakan dengan tegas: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).” Kalimat ini memberi kejelasan bahwa rakyat memegang kendali mutlak atas kekuasaan negara melalui lembaga representatif tertinggi, yaitu MPR. Namun pasca Amandemen Ketiga tahun 2001, bunyi pasal tersebut diubah menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Frasa “sepenuhnya oleh MPR” dihapus, dan dari sinilah titik balik kedaulatan rakyat mulai mengalami kemunduran sistemik.
Krisis kedaulatan itu semakin diperjelas dalam Pasal 6A ayat (1) dan (2) hasil amandemen. Meski menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Tetapi kenyataannya pasangan calon tetap harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai. Artinya, rakyat hanya diberi pilihan terbatas yang sudah diseleksi dan disetujui oleh elite partai. Proses ini bukanlah pelaksanaan kedaulatan rakyat secara utuh, melainkan delegasi semu yang menjadikan rakyat sekadar tukang stempel.
Pernyataan Ironis Kekuasaan Presiden
Lebih ironis lagi, penjelasan asli UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan Presiden “tidak tak terbatas dan harus bertanggung jawab kepada MPR” kini hilang dalam naskah amandemen. Presiden tidak lagi memiliki kewajiban pertanggungjawaban ke hadapan MPR, dan tidak ada mekanisme korektif terhadap penyimpangan kekuasaan eksekutif. Partai politik menjadi satu-satunya pintu ke tampuk kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif. Maka wajar jika kini Presiden tampak memiliki kekuasaan hampir absolut.
Inilah ironi demokrasi prosedural kita. Rakyat memilih, tetapi tidak menentukan. Kedaulatan yang seharusnya dimiliki rakyat, kini dikunci dalam ruang sempit partai politik. Kedaulatan rakyat berubah dari kekuasaan substantif menjadi sekadar formalitas lima tahunan.
Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah menyampaikan refleksi tajam atas kondisi ini. Ia mengatakan, “Perjuangan kita ini justru baru akan dimulai. Penjajahan Indonesia sebenarnya dimulai sejak 17 Agustus 1945, karena sebelumnya yang ada hanyalah kerja sama dagang antara raja-raja Nusantara dengan Belanda, Spanyol, atau Portugis.” Pernyataan ini mengandung makna mendalam: bahwa kemerdekaan Indonesia secara formal tidak otomatis menghapus bentuk-bentuk penjajahan baru yang dibungkus dalam sistem (kejahatan) politik modern.
Jika benar kemerdekaan adalah titik awal penjajahan baru, bukan oleh bangsa asing, tapi oleh sistem yang dibentuk elite sendiri, maka perjuangan membebaskan kedaulatan rakyat adalah tugas sejarah yang belum selesai.
Sudah saatnya bangsa ini meninjau ulang arsitektur ketatanegaraan yang ada. Bukan untuk bernostalgia ke masa lalu, tetapi untuk memulihkan kembali substansi Republik: negara yang benar-benar menjadikan rakyat sebagai pusat kekuasaan, bukan sekadar komoditas (kejahatan) politik. Perlu ada koreksi konstitusi yang mengembalikan kewenangan rakyat secara utuh, membatasi dominasi partai, dan memastikan bahwa seluruh proses kekuasaan benar-benar lahir dari, oleh, dan untuk rakyat.
Jika tidak, maka demokrasi kita tak lebih dari panggung sandiwara. Dan semboyan “kedaulatan di tangan rakyat” akan terus menjadi pepesan kosong di tengah sistem yang hanya memuliakan elite.