beritax.id – Pemerintah menggelar berbagai festival budaya sebagai bentuk pelestarian warisan leluhur. Namun, kemeriahan itu hanya berhenti di panggung. Di akar masyarakat, nilai luhur bangsa terus terkikis oleh konsumerisme dan hedonisme. Seharusnya Kebijakan budaya Indonesia merupakan serangkaian langkah strategis yang dirancang oleh pemerintah untuk melindungi, mengembangkan, dan memajukan kekayaan budaya bangsa.
Direktur X-Institute sekaligus Anggota Majelis Tinggi Partai X, Prayogi R Saputra, mengkritik pendekatan budaya yang hanya bersifat simbolik. “Budaya bukan sekadar pertunjukan. Ia seharusnya membentuk peradaban dan arah hidup bangsa,” ujarnya.
Menurut Prayogi, pemerintah telah keliru dalam menempatkan budaya sebagai tontonan, bukan tuntunan.
“Tugas pemerintah itu tiga,” katanya. “Melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat.” Tapi saat ini, budaya justru dijadikan panggung demi pencitraan penguasa.
Festival terus digelar, namun tak menyentuh persoalan krusial. Kekerasan sosial, degradasi moral, dan pengabaian nilai adat terus merajalela.
Kebijakan Budaya Saat ini Rakyat Tak Dilibatkan, Warisan Budaya Sekadar Branding
Kebijakan budaya hari ini lebih berpihak pada industri kreatif dibanding penguatan akar budaya masyarakat. Rakyat tak dilibatkan sebagai pelaku. Mereka hanya jadi penonton dalam pameran budaya yang dijual mahal untuk turis.
Nilai-nilai gotong royong, kearifan lokal, dan etika hidup bersama makin tersingkir. Sementara penguasa menjadikan budaya sebagai panggung promosi kekuasaan.
Partai X menegaskan bahwa budaya adalah infrastruktur dasar peradaban. Nilai luhur harus ditanam sejak dini, bukan dimanipulasi demi kepentingan sesaat. “Budaya membentuk mental bangsa. Kalau mental rusak, negara mudah jatuh,” tegas Prayogi.
Solusi utama adalah mengembalikan rakyat sebagai subjek kebudayaan. Pemerintah cukup menjadi fasilitator, bukan penentu arah budaya rakyat.
Partai X menilai bahwa kegagalan kebijakan budaya ini tak lepas dari sistem pemerinntahan yang mengabaikan peran rakyat. Sejak Amandemen Ketiga, rakyat kehilangan kendali atas arah negara, termasuk arah kebudayaan.
Amandemen Kelima menjadi jalan mengembalikan rakyat sebagai pemilik negara dan penjaga nilai luhur bangsa. Pemerintah harus kembali tunduk pada kehendak rakyat.
Penutup: Jangan Biarkan Budaya Mati di Tangan Pejabat Seremonial
Melalui Sekolah Negarawan, X-Institute membangun ruang pendidikan kebangsaan berbasis Pancasila dan nilai lokal. Sekolah ini mengajarkan bahwa pemimpin sejati adalah penjaga kebudayaan dan peradaban. “Negarawan adalah pejuang nilai, bukan pencari panggung,” ujar Prayogi.
Dengan tiga pilar pendidikan, penelitian, dan penerbitan Sekolah Negarawan mendorong regenerasi pemimpin berjiwa luhur. Bukan pemimpin yang hanya bicara adat di podium, tapi lupa praktik di lapangan.
Partai X menyerukan perubahan cara pandang terhadap budaya. Budaya bukan alat kekuasaan, tapi akar kepribadian bangsa. “Kalau budaya hanya dijadikan festival, maka nilai luhur bangsa hanya akan jadi arsip,” tutup Prayogi.
Sudah saatnya rakyat memimpin kebudayaan, bukan hanya menonton dari balik pagar panggung. Karena kebudayaan bukan milik birokrat, tapi milik seluruh rakyat Indonesia.