beritax.id – Di tengah arus modernisasi dan derasnya pengaruh global, Indonesia perlahan menjauh dari akar budayanya sendiri. Padahal, di setiap daerah, tersimpan kearifan lokal yang telah berabad-abad menjadi penopang moral dan etika sosial bangsa.Nilai-nilai seperti gotong royong, musyawarah, kejujuran, dan rasa malu berbuat salah kini kian memudar, tergantikan oleh budaya individualistik dan pragmatisme kekuasaan. Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan bahwa kearifan lokal bukan sekadar warisan nenek moyang, tetapi fondasi moral bagi bangsa yang ingin berdaulat.
“Tugas negara itu tiga loh melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat,” ujarnya tegas. Menurutnya, negara yang melupakan akar kearifan lokal akan kehilangan arah moral dan kehilangan ruh kebangsaannya.
Kearifan Lokal dan Pancasila: Dua Sisi dari Jiwa Bangsa
Rinto menjelaskan bahwa kearifan lokal sejatinya adalah manifestasi nilai-nilai Pancasila yang hidup dalam keseharian masyarakat. Di berbagai daerah, nilai kemanusiaan, keadilan, dan kebersamaan telah terpatri dalam adat dan tradisi.
“Gotong royong adalah bentuk nyata sila ketiga Pancasila. Musyawarah adat adalah pengejawantahan sila keempat. Sedangkan keadilan sosial sudah menjadi roh kehidupan di banyak komunitas lokal,” jelasnya.
Ia menilai bahwa ketika negara mengabaikan kearifan lokal dan memutus hubungan dengan budaya rakyatnya, maka kebijakan yang lahir hanya akan kering dari nurani dan kehilangan legitimasi moral. Karena itu, negara harus kembali berpijak pada nilai budaya yang telah lama menjaga harmoni di tengah keberagaman bangsa.
Prinsip Partai X: Kedaulatan dan Moralitas Rakyat sebagai Sumber Kekuasaan
Dalam Prinsip Partai X, ditegaskan bahwa negara bukan alat kekuasaan segelintir pejabat, melainkan lembaga yang dibentuk untuk menunaikan amanat rakyat. Kedaulatan sejati berada di tangan rakyat, dan moralitas menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Rinto menyebutkan, negara hanya bisa kuat jika berdiri di atas moral rakyat yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa. “Kita tidak mungkin bicara kedaulatan jika moral para pemimpin rapuh. Moral itu tumbuh dari budaya, bukan dari kepentingan,” tambahnya.
Partai X juga menegaskan bahwa politik harus dijalankan sebagai pengabdian, bukan perebutan kekuasaan. Pemerintah, aparat, dan pejabat publik harus menjadi pelayan rakyat, bukan tuan atas mereka.
Solusi Partai X: Restorasi Budaya dan Moral Kebangsaan
Sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik, Partai X menawarkan langkah konkret untuk menghidupkan kembali kearifan lokal sebagai fondasi moral bangsa:
- Revitalisasi Nilai Budaya dalam Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan harus menanamkan nilai-nilai lokal yang sejalan dengan Pancasila, bukan hanya berorientasi pada angka dan sertifikat. - Desentralisasi Kebijakan Budaya
Pemerintah pusat harus memberikan ruang lebih luas bagi daerah untuk mengelola dan mengembangkan budaya lokalnya sebagai aset moral dan ekonomi bangsa. - Kepemimpinan Berbasis Etika dan Akal Sehat
Setiap pejabat publik wajib menjadikan nilai adat dan Pancasila sebagai panduan perilaku dan keputusan politik. - Gerakan Nasional Restorasi Moral
Melalui kampanye publik dan gerakan sosial. Partai X mendorong lahirnya kesadaran bersama bahwa pembangunan sejati dimulai dari karakter bangsa.
Rinto menegaskan, “Kedaulatan bangsa hanya dapat dijaga oleh rakyat yang bermoral, dan moral itu tumbuh dari budaya yang kita rawat bersama.”
Menegakkan Kedaulatan Melalui Kebijaksanaan Adat dan Nurani Bangsa
Kearifan lokal bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi panduan moral masa depan. Ketika negara kehilangan arah, budaya lokallah yang menjaga keseimbangan sosial dan mengembalikan nurani bangsa.
Dalam pandangan Partai X, membangun bangsa bukan hanya soal infrastruktur atau ekonomi. Tetapi juga membangun karakter dan akal sehat warga negara.
Rinto menutup pernyataannya dengan ajakan yang menggugah, “Bangsa yang besar bukan bangsa yang meniru dunia, tapi yang mengenal dirinya sendiri. Saat kita kembali pada kearifan, kita sesungguhnya sedang kembali pada kemerdekaan.”



