beritax.id – Keamanan siber kini menjadi istilah favorit dalam setiap pembahasan kebijakan digital nasional. Pemerintah menyebutnya sebagai tameng menghadapi ancaman global, kejahatan daring, dan serangan asing. Namun di mata publik, istilah tersebut perlahan kehilangan makna perlindungannya. Yang terasa justru perluasan pengawasan terhadap aktivitas warga di ruang digital.
Kecurigaan ini tidak muncul tanpa sebab. Berbagai kebijakan dan praktik belakangan menunjukkan bahwa keamanan sering dijadikan pintu masuk untuk mengontrol, bukan sekadar melindungi.
Dari Perlindungan Sistem ke Pemantauan Warga
Alih-alih fokus memperkuat sistem negara dari peretasan dan kebocoran, perhatian kebijakan justru bergeser ke lalu lintas komunikasi publik. Akses terhadap data digital, metadata komunikasi, hingga aktivitas di platform daring semakin terbuka bagi aparat negara, sementara mekanisme kontrolnya minim transparansi.
Dalam konteks ini, warga bukan lagi subjek yang dilindungi, melainkan objek yang diawasi.
Konteks Aktual: Data Bocor, Pengawasan Ditambah
Ironi besar terjadi ketika kebijakan pengawasan diperluas di tengah rentetan kasus kebocoran data di Indonesia. Data kependudukan, data kesehatan, hingga data keuangan publik berulang kali bocor tanpa kejelasan pertanggungjawaban. Namun alih-alih evaluasi menyeluruh terhadap pengelolaan data negara, respons yang muncul justru pengetatan kontrol terhadap ruang digital warga.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan publik: mengapa yang gagal dijaga justru sistem negara, sementara yang diawasi adalah masyarakat?
Efek Psikologis: Ruang Digital Tidak Lagi Netral
Pengawasan siber tidak hanya berdampak teknis, tetapi juga sosial. Ketika warga merasa aktivitas digitalnya dapat dipantau, kebebasan berekspresi ikut tertekan. Diskusi publik menjadi lebih hati-hati, kritik melemah, dan ruang demokrasi digital menyempit secara perlahan.
Dalam jangka panjang, rasa diawasi ini membentuk budaya takut yang bertentangan dengan semangat demokrasi.
Keamanan sejatinya bertujuan menciptakan rasa aman. Namun ketika kebijakan siber lebih menekankan kontrol dibanding perlindungan, arah kebijakan menjadi kabur. Negara berisiko menukar kepercayaan publik dengan ilusi stabilitas, tanpa menyelesaikan akar persoalan keamanan digital itu sendiri.
Solusi: Keamanan untuk Warga, Bukan atas Warga
Agar keamanan siber tidak berubah menjadi alat pengawasan, sejumlah langkah mendesak perlu dilakukan:
- Memfokuskan keamanan siber pada perlindungan sistem negara
Prioritas utama harus pada pencegahan kebocoran dan serangan, bukan pemantauan warga. - Membatasi pengawasan dengan dasar hukum yang ketat dan transparan
Setiap bentuk pengawasan harus jelas tujuan, durasi, dan mekanisme pertanggungjawabannya. - Memperkuat perlindungan data pribadi secara nyata
Keamanan siber tanpa perlindungan data hanyalah slogan kosong. - Melibatkan publik dan ahli independen dalam kebijakan digital
Kebijakan siber tidak boleh disusun secara tertutup dan sepihak.
Jika keamanan siber terus dimaknai sebagai perluasan pengawasan, maka ruang digital Indonesia akan kehilangan kebebasannya. Keamanan yang sejati tidak lahir dari rasa diawasi, melainkan dari sistem yang kuat, transparan, dan berpihak pada hak warga. Tanpa koreksi arah, narasi keamanan hanya akan menjadi pembenaran bagi kontrol yang kian meluas.



