Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia | Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Dalam perjalanan spiritual dan intelektual Cak Nun, gagasan Konstitusi Langit bukan sekadar konsep idealis utopis yang jauh dari realitas. Justru sebaliknya, gagasan ini lahir dari kejujuran batin, dialektika panjang dengan realitas bangsa, dan kepekaan spiritual yang mendalam. Namun, dalam perjalanannya, gagasan ini selalu berhadapan dengan dua golongan besar: golongan kafir dan golongan munafik.
Ini Golongan Kafir: Penikmat Rusaknya Sistem
Golongan pertama adalah kafir, yakni mereka yang tidak percaya sama sekali pada gagasan Konstitusi Langit, bahkan mencemoohnya secara terang-terangan. Golongan ini bukan sekadar tidak tahu, tetapi memang tidak mau tahu dan tidak mau terlibat. Mereka adalah orang-orang yang justru menikmati kerusakan sistem negara saat ini, di mana oligarki, kekuasaan eksklusif, dan privilese berjaya.
Kelompok ini terdiri dari:
- Para oligarki yang memegang kunci ekonomi dan politik, meraup keuntungan dari kebijakan yang timpang.
- Pejabat tinggi pemerintahan dan kelompok elite birokrasi: dokter, artis, pegawai pajak, bea cukai, pejabat BUMN, pemuka agama, kepala adat dan budaya, akademisi, perwira TNI-Polri, petinggi kehakiman, hingga anggota DPR dan pejabat pemeriksa keuangan.
- Kaum yang membungkus dirinya dengan retorika moral tetapi sejatinya mengamankan kenyamanan pribadi.
Golongan kafir ini sangat sadar bahwa jika Konstitusi Langit ala Cak Nun diwujudkan, sistem akan berubah radikal: kedaulatan murni di tangan rakyat, distribusi kekuasaan transparan, dan sumber daya dikembalikan untuk kemakmuran umum. Maka, posisi nyaman mereka akan runtuh, ibarat atap rumah bocor yang selama ini mereka gunakan untuk bersembunyi.
Golongan Munafik: Pengakuan Tanpa Tindakan
Golongan kedua adalah munafik, yakni mereka yang secara lisan mengakui kebenaran gagasan Konstitusi Langit, tetapi menolak menjalankan. Pada golongan ini bahkan lebih berbahaya, karena mereka kerap menyusup ke dalam gerakan rakyat, termasuk ke dalam simpul-simpul Maiyah sendiri.
Ciri khas mereka:
- Mengaku setuju, tetapi dalam diskusi selalu mematahkan semangat dengan dalih “sulit”, “mustahil”, “belum waktunya”.
- Gemar menunda dan menunda, agar perubahan tidak pernah terjadi.
- Sama seperti golongan kafir, mereka menikmati kemapanan dalam ketidakbenaran.
Kedua golongan ini ibarat penghuni sebuah bangunan rusak parah. Rumahnya atap bocor di mana-mana, saluran air mampet, sirkulasi pengap, keramik terkelupas, dinding lembab, kamar mandi bau, dapur kotor, dan fondasi retak parah. Anehnya, mereka tetap berkata, “Semua baik-baik saja,” demi mempertahankan kenyamanan semu yang mereka nikmati.
Seruan untuk Menjadi Mukmin
Kini saatnya kita memilih: tetap menjadi kafir atau munafik, atau bertransformasi menjadi mukmin, yaitu golongan yang percaya pada kebenaran Konstitusi Langit Cak Nun, dan siap menjalankan.
Seorang mukmin menjalani dakwah dalam tiga tahapan:
- Dengan hati, yakni keyakinan penuh dalam batin bahwa konsep ini benar dan mulia.
- Dengan lisan, menyebarkan kebenaran di ruang-ruang diskusi, forum, media sosial, atau obrolan sederhana.
- Dengan tindakan, mengambil peran langsung dalam membangun sistem baru, baik melalui gerakan sosial, advokasi, maupun pembenahan internal.
Konsep Konstitusi Langit bukan sekadar “cita-cita tinggi”, melainkan perintah moral dan spiritual agar bangsa ini kembali ke rel kedaulatan rakyat, bebas dari cengkeraman oligarki, dan selaras dengan kehendak ilahi.
Sudah saatnya kita berani memutus kenyamanan semu, meninggalkan zona abu-abu kemunafikan, dan menjemput peran sejati sebagai mukmin dan eksekutor perubahan.