beritax.id – Menguatnya wacana penyempitan partisipasi publik dalam proses kembali menimbulkan pertanyaan mendasar tentang arah bernegara. Ketika hak pilih rakyat dipersoalkan atas nama efisiensi dan stabilitas, muncul kekhawatiran bahwa negara sedang bergerak menjauh dari prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi fondasi demokrasi. Jika rakyat tidak lagi memilih, maka untuk siapa sebenarnya negara ini dibangun?
Hak pilih bukan sekadar prosedur lima tahunan, melainkan sumber legitimasi kekuasaan. Dari sanalah mandat pemerintahan lahir, kebijakan disahkan, dan pemimpin diuji. Mengurangi peran rakyat berarti mengurangi legitimasi itu sendiri. Negara yang meminggirkan suara rakyat berisiko kehilangan dasar moral dan pemerintahannya.
Efisiensi Dijadikan Alasan, Partisipasi Jadi Korban
Dalih efisiensi kerap digunakan untuk membenarkan pembatasan hak pilih. Biaya, konflik, dan kerumitan teknis dijadikan alasan utama. Namun, pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa persoalan tersebut seharusnya diselesaikan dengan perbaikan tata kelola, bukan dengan mengorbankan partisipasi rakyat.
Efisiensi yang menghapus keterlibatan warga justru menciptakan masalah baru yang lebih besar.
Ketika keputusan penting dipindahkan dari ruang publik ke ruang penguasa, kedaulatan perlahan berpindah tangan. Rakyat direduksi menjadi objek kebijakan, sementara kekuasaan berputar di antara pejabat dan lembaga.
Tanggapan Partai X: Negara Ada untuk Rakyat
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menegaskan bahwa negara tidak boleh kehilangan orientasi dasarnya.
“Tugas negara itu ada tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Semua itu hanya bermakna jika rakyat tetap menjadi subjek, bukan penonton. Jika rakyat tidak lagi memilih, maka kita harus bertanya dengan jujur: negara ini sedang bekerja untuk siapa?” tegas Prayogi.
Ia mengingatkan bahwa kekuasaan yang sah hanya lahir dari persetujuan rakyat, bukan dari kemudahan birokrasi.
Dampak Jangka Panjang terhadap Kehidupan Demokrasi
Menyingkirkan rakyat dari proses memilih berpotensi memperlebar jurang antara negara dan warga. Kepercayaan publik menurun, apatisme meningkat, dan ruang koreksi terhadap kekuasaan menyempit.
Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat melemahkan persatuan sosial dan stabilitas itu sendiri.
Solusi dan Rekomendasi
Untuk memastikan negara tetap berpijak pada kedaulatan rakyat, diperlukan langkah-langkah berikut:
- Menegaskan hak pilih rakyat sebagai prinsip yang tidak dapat dikompromikan
- Memperbaiki tata kelola pemilu tanpa mengurangi partisipasi publik
- Memperkuat mekanisme pengawasan rakyat terhadap kekuasaan
- Mendorong transparansi dan keterbukaan dalam setiap pengambilan keputusan
- Menempatkan pejabat sebagai pelayan rakyat, bukan pengganti suara rakyat
Partai X menegaskan, negara hanya memiliki makna jika tetap berdiri di atas kehendak rakyat. Ketika rakyat tidak lagi memilih, demokrasi kehilangan ruhnya dan negara kehilangan arah.



