Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id – Pernyataan Ketua DPR RI, Puan Maharani, yang meminta maaf dan berjanji akan lebih mendengar aspirasi rakyat pasca demonstrasi besar-besaran akhir Agustus 2025, semestinya menjadi momentum penting dalam membangun kembali kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Namun, di balik pernyataan yang terdengar penuh empati itu, terdapat pertanyaan serius yang menggantung: apakah janji mendengar aspirasi itu berlaku untuk semua rakyat?
Sebab kenyataannya, Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) sudah mengirim tujuh surat resmi kepada DPR RI sejak awal tahun 2024. Semuanya diabaikan. Tak satu pun mendapat balasan, bahkan sekadar tanda terima atau konfirmasi penerimaan.
Aspirasi Tak Terdengar, Padahal Disampaikan Lewat Jalur Formal
IWPI bukan lembaga abal-abal. Ia mewakili kepentingan dan keluhan warga negara yang taat pajak namun mengalami berbagai bentuk ketidakadilan struktural. Dalam ketujuh surat tersebut, IWPI mengangkat isu-isu serius seperti:
- Kendala kronis dalam aplikasi CoreTax yang justru memperburuk pelayanan perpajakan dan berpotensi menimbulkan kerugian negara.
- Dugaan pelanggaran administrasi dalam seleksi calon hakim agung Kamar TUN Khusus Pajak, yang dapat mempengaruhi integritas putusan pengadilan.
- Maraknya kasus hukum yang melibatkan oknum pegawai pajak, namun tidak mendapat pengawasan atau tindak lanjut yang transparan dari institusi pengawas.
- Sidang-sidang di pengadilan pajak yang diduga berat sebelah, dengan kecenderungan majelis hakim yang lebih membela otoritas (DJP dan DJBC) dibandingkan wajib pajak.
Semua itu disampaikan secara tertulis, formal, dan sesuai dengan etika administratif. Namun, respons DPR nihil.
Puan Minta Maaf, Tapi Tak Menjawab
Pada Sabtu (30/8/2025), Puan menyatakan permintaan maaf di depan publik. Ia mengatakan DPR akan mengevaluasi diri, berbenah, dan “mendengar aspirasi rakyat dengan lebih sehat dan lebih baik”. Namun, bagaimana publik bisa mempercayai pernyataan tersebut bila aspirasi yang datang lewat jalur resmi saja tidak pernah dijawab?
Apakah DPR hanya mendengar jika rakyat turun ke jalan, membawa poster, dan menciptakan kegaduhan media sosial? Jika ya, maka ini adalah bentuk kegagalan komunikasi institusional yang serius. Ini juga menciptakan preseden buruk: bahwa penyampaian aspirasi secara tertib justru tidak dianggap penting.
Aspirasi Rakyat Bukan Pilihan: Ia Mandat Konstitusi
Mendengarkan rakyat bukanlah kemurahan hati DPR, melainkan kewajiban konstitusional. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Lembaga DPR hanyalah pelaksana mandat itu, bukan pemilik kekuasaan.
Ketika surat resmi dari kelompok masyarakat sipil seperti IWPI diabaikan, ini menandakan pembusukan birokrasi komunikasi. Janji Puan Maharani akan menjadi sekadar basa-basi politik jika tidak dibarengi dengan tindak lanjut konkret.
Kami Menunggu, Tapi Tidak Akan Diam
IWPI, dan publik yang peduli akan keadilan perpajakan, masih menunggu. Bukan semata balasan surat, tapi pengakuan bahwa suara rakyat—sekecil apapun—layak untuk didengar. Jika benar DPR ingin berubah, evaluasi itu harus dimulai dari hal paling mendasar: membaca dan merespons surat rakyat.
Kalau janji Puan sekadar retorika, maka jangan salahkan rakyat bila kembali turun ke jalan. Karena suara yang tidak didengar, pada akhirnya akan berteriak lebih keras.