Oleh: Rinto Setiyawan, A.Md., S.H — Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI)
beritax.id – Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menyampaikan dukungan penuh terhadap langkah Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah menguji norma larangan perekaman audio-visual dalam pertemuan antara Wajib Pajak dan pejabat pajak. Isu ini bukan sekadar masalah teknis administratif, tetapi menyentuh inti hubungan pemerintah–warga: hak rakyat untuk mengawasi kekuasaan dan memastikan negara bekerja secara transparan.
Konstitusi Indonesia sudah memberikan fondasi yang amat jelas. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Artinya, rakyat — termasuk di dalamnya para Wajib Pajak adalah pemegang kedaulatan yang sah, sementara pejabat publik hanyalah pelaksana mandat rakyat. Karena itu, pejabat publik tidak boleh membatasi hak-hak warga tanpa dasar konstitusional maupun dasar hukum yang jelas.
Dalam konteks ini, hak untuk merekam dan mendokumentasikan proses pelayanan publik bukanlah hal yang dapat dipandang sepele. Hak itu berakar langsung pada Pasal 28F UUD 1945 yang menegaskan:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Dengan kata lain, hak warga untuk mencari, memperoleh, menyimpan, dan mengolah informasi melalui perekaman adalah hak konstitusional. Perekaman bukan pelanggaran justru bagian dari ekspresi konstitusional warga untuk memperoleh bukti, memastikan akuntabilitas, dan melindungi diri dari potensi tindakan tidak patut dalam proses pemerintahan.
Kerahasiaan Pejabat Pajak
Berita MK mencatat bahwa selama ini, pasal kerahasiaan dalam UU KUP kerap disalahartikan seolah-olah membatasi hak Wajib Pajak untuk merekam proses layanan. Padahal pasal tersebut hanya membebankan kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak, bukan kepada Wajib Pajak. Interpretasi yang keliru inilah yang kini diuji dan dikoreksi melalui mekanisme konstitusional.
Lebih jauh, regulasi internal DJP sendiri justru mewajibkan perekaman audio-visual dalam beberapa proses formal seperti Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP). Inilah ironi besar: fiskus diperbolehkan merekam demi dokumentasi, namun Wajib Pajak pemilik kedaulatan dan subjek perlindungan konstitusi justru dilarang. Ketidakseimbangan ini bertentangan dengan asas keadilan, asas kesetaraan di hadapan hukum, serta melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh dan menyimpan informasi.
IWPI menegaskan bahwa pejabat pajak, sebagai pelaksana mandat rakyat, wajib menghormati hak konstitusional Wajib Pajak. Setiap interaksi pelayanan publik adalah ruang yang harus terbuka terhadap pengawasan rakyat. Ketika Wajib Pajak ingin merekam, sesungguhnya mereka sedang menjalankan hak kedaulatan bukan mengganggu proses kerja aparatur pemerintah.
Seruan IWPI
IWPI juga mengajak seluruh Wajib Pajak untuk tetap tenang namun tegas. Bila menghadapi pelarangan perekaman tanpa dasar hukum yang jelas, catatkan kronologi, simpan bukti lain yang tersedia, dan laporkan melalui mekanisme pengawasan seperti Ombudsman RI. Negara tidak boleh membiarkan warganya kehilangan alat perlindungan diri.
Langkah MK ini kami pandang sebagai momen penting. Putusan yang kelak dihasilkan akan menjadi barometer apakah pemerintah menghormati rakyatnya sebagai pemilik kedaulatan atau justru membiarkan penyimpangan prosedural terus berlangsung. IWPI berharap bahwa MK akan menegaskan posisi konstitusional warga negara dan menghapus multitafsir yang selama ini merugikan.
Transparansi adalah hak. Perekaman adalah bagian dari hak itu. Dan hak konstitusional tidak boleh dicabut oleh interpretasi sempit.



