Oleh: Rinto Setiyawan Am. Md. T, CTP ( Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia )
beritax.id – Cak Nun pernah berkata dengan nada getir, “Pejabat (pajak) di Indonesia itu, pernah menderita apa sampai begitu kejam kepada rakyat? Sengkuni saja, yang harus makan tubuh orang tuanya untuk bertahan hidup, hanya menjadi provokator. Tapi pejabat pajak yang hidupnya baik-baik saja, justru kejamnya melebihi Sengkuni.”
Ini bukan sekadar sindiran. Ini adalah refleksi dari luka sosial yang sudah terlalu dalam, ketika kekuasaan fiskal yang semestinya menjadi penopang keadilan, justru menjadi alat kekerasan administratif yang sepi dari belas kasih.
Sengkuni: Simbol dari Kelicikan yang Didahului Penderitaan
Dalam kisah Mahabharata, Sengkuni dikenal sebagai tokoh licik, ahli intrik dan manipulasi. Tapi akar kelicikannya lahir dari derita panjang. Ia pernah dipenjara dan dipaksa memakan mayat saudara-saudaranya sendiri agar tetap hidup. Trauma itulah yang memupuk rasa dendam dan kebencian yang akhirnya menjadi racun bagi Dinasti Kuru.
Namun yang kita lihat hari ini di dunia perpajakan Indonesia, para pejabatnya tak pernah mengalami penderitaan seperti Sengkuni. Mereka tidak disiksa, tidak kelaparan, bahkan sebagian bisa “membeli” jabatan dengan uang miliaran rupiah demi posisi strategis di DJP. Tapi tingkat kejam dan manipulatifnya terhadap rakyat, justru melampaui Sengkuni.
Bagaimana tidak?
- Wajib pajak yang beritikad baik diperiksa seperti terdakwa, diseret ke ruang negosiasi yang sunyi dari hukum;
- Ketika rakyat kecil menjerit, aparat fiskal membalasnya dengan pasal-pasal dan regulasi yang bahkan mereka sendiri tidak sepenuhnya pahami;
- Ketika bukti cacat prosedur terbuka lebar, pengadilan justru menutup mata, karena hakimnya masih satu garis komando dengan si penggugat;
- Ketika rakyat mencari keadilan di pengadilan pajak, yang mereka dapat hanyalah: “Ajukan Peninjauan Kembali.”
Maka benarlah kata Cak Nun: mereka tidak membela negara, tapi membela kekuasaan yang menyamar dalam bentuk angka-angka dan peraturan teknis.
Kekejaman yang Tidak Bermotif Balas Dendam, Tapi Nafsu Kekuasaan
Berbeda dengan Sengkuni yang didorong oleh trauma dan dendam, para pejabat pajak kita didukung oleh sistem yang membenarkan setiap pelanggaran, selama tampak legal. Mereka tak perlu licik secara pribadi, karena sistem sudah licik dari sananya. Kekuasaan membuat mereka tidak perlu merasa bersalah, karena semua dilakukan “sesuai prosedur.”
Namun inilah bahaya terbesar dari kekuasaan administratif yang tidak diawasi: kejam tapi sah, zalim tapi rapi. Ini bukan lagi soal pajak, ini soal matinya empati dalam birokrasi.
Sengkuni menciptakan perang dengan kata-kata. Tapi hari ini, pejabat fiskus menciptakan penderitaan ekonomi (teroris ekonomi), kehancuran usaha, dan rasa tidak berdaya warga negara, dengan surat ketetapan dan meja pemeriksaan.
Mengembalikan Rasa Kemanusiaan dalam Sistem Pajak
Pajak adalah alat negara untuk membiayai kehidupan bersama. Tapi begitu pajak dijalankan tanpa roh keadilan, ia hanya menjadi alat pemerasan modern.
Yang kita butuhkan hari ini bukan hanya revisi UU atau penyederhanaan PMK. Yang lebih mendasar adalah:
- Mengembalikan martabat warga negara di hadapan negara;
- Menggeser paradigma fiskus dari penguasa ke pelayan;
- Memastikan bahwa keadilan bukan formalitas hukum, tapi pengalaman yang dirasakan oleh rakyat.
Bagi pejabat pajak yang masih punya hati: sadarlah. Anda bukan musuh rakyat, Anda alat negara untuk melayani rakyat. Jangan sampai Anda menjadi Sengkuni baru, tapi tanpa alasan, tanpa luka, hanya karena sistem memungkinkan Anda untuk kejam tanpa perlu menderita lebih dulu.
Penutup
Ilmu siluman fiskus bukan tentang teknologi atau regulasi. Ia adalah metafora dari kekuasaan yang tersembunyi, namun menjerat. Dan ketika kekuasaan itu tak lagi punya rasa kasihan, bahkan Sengkuni pun akan terlihat bermoral.
Maka sebelum rakyat menolak pajak bukan karena malas, tapi karena kecewa, negara harus introspeksi. Karena tak ada negara yang kuat jika rakyatnya merasa dimusuhi oleh sistem yang mereka biayai sendiri.