beritax.id – Pulau Sumatra selama puluhan tahun dikenal sebagai salah satu benteng hutan tropis Indonesia. Namun dalam beberapa tahun terakhir, lanskap tersebut berubah cepat. Kawasan yang dulunya menjadi ruang hidup masyarakat adat dan penyangga ekologi kini beralih fungsi menjadi wilayah pertambangan, perkebunan skala besar, dan proyek industri ekstraktif.
Perubahan ini bukan sekadar soal alih fungsi lahan, tetapi soal arah kebijakan negara yang semakin memprioritaskan eksploitasi sumber daya alam dibanding perlindungan rakyat dan lingkungan.
Ekspansi Tambang dan Dampak Nyata di Lapangan
Sejumlah kasus terbaru menunjukkan bahwa ekspansi tambang di Sumatra berkorelasi langsung dengan meningkatnya konflik agraria, banjir, dan kerusakan lingkungan. Di beberapa wilayah, pembukaan hutan untuk tambang mineral dan batubara menyebabkan hilangnya daerah resapan air, rusaknya sungai, serta terganggunya sumber penghidupan warga.
Masyarakat lokal menanggung dampak paling berat: sawah terendam, air bersih tercemar, dan ruang hidup menyempit, sementara keputusan izin tambang sering diambil jauh dari wilayah terdampak.
Rakyat Terdesak, Negara Terlihat Absen
Ketika warga menyampaikan protes atas dampak tambang, respons negara kerap lambat atau bersifat normatif. Pengaduan masyarakat sering berujung pada janji evaluasi, tanpa tindak lanjut yang jelas. Situasi ini menciptakan kesan kuat bahwa negara lebih sigap melayani kepentingan industri dibanding melindungi rakyatnya sendiri.
Padahal, konstitusi menegaskan bahwa sumber daya alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk menumpuk keuntungan segelintir pihak.
Konflik Agraria yang Terus Berulang
Kasus tumpang tindih izin tambang dengan lahan masyarakat dan kawasan hutan masih terus terjadi. Di Sumatra, konflik agraria kerap disertai kriminalisasi warga yang mempertahankan tanahnya. Warga yang menolak tambang justru dicap menghambat pembangunan, sementara suara mereka jarang masuk dalam proses pengambilan kebijakan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan yang berjalan tidak selalu berarti kemajuan bagi semua pihak.
Kerusakan Ekologis, Beban Sosial
Kerusakan hutan Sumatra tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga memperbesar risiko bencana. Banjir dan longsor yang berulang menjadi sinyal bahwa daya dukung alam telah terlampaui. Sayangnya, biaya sosial dan ekologis ini tidak pernah masuk perhitungan utama dalam kebijakan pertambangan.
Rakyat dipaksa beradaptasi dengan bencana, sementara aktivitas tambang tetap berjalan.
Solusi: Mengembalikan Fungsi Negara
Untuk menghentikan tekanan terhadap rakyat akibat ekspansi tambang di Sumatra, sejumlah langkah mendesak perlu dilakukan:
- Moratorium izin tambang di kawasan hutan dan daerah rawan bencana
Negara harus berani menghentikan ekspansi sebelum kerusakan semakin parah. - Audit lingkungan dan sosial secara independen
Evaluasi izin harus berbasis dampak nyata, bukan hanya dokumen administratif. - Penguatan hak masyarakat lokal dan adat
Rakyat harus dilibatkan penuh dalam setiap keputusan yang menyangkut ruang hidupnya. - Penegakan hukum tanpa tebang pilih
Pelanggaran lingkungan harus ditindak, termasuk oleh korporasi besar.
Perubahan hutan Sumatra menjadi wilayah tambang adalah cermin dari kebijakan yang kehilangan keseimbangan antara pembangunan dan keadilan. Jika pola ini terus dibiarkan, rakyat akan semakin tertekan dan kerusakan lingkungan akan menjadi warisan pahit bagi generasi mendatang.
Hutan yang hilang tidak hanya merusak alam, tetapi juga merampas hak hidup rakyat yang seharusnya dilindungi negara.



