beritax.id – Dalam rangka seleksi Calon Hakim Agung Republik Indonesia Tahun 2025, publik kembali dikejutkan oleh munculnya nama Dr. Budi Nugroho, S.H., S.E., M.Hum. sebagai salah satu kandidat dari jalur Hakim Pengadilan Pajak. Namun, setelah dilakukan verifikasi faktual atas rekam jejak profesional yang bersangkutan. Ditemukan sejumlah kejanggalan serius yang patut menjadi perhatian Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung RI. Khususnya terkait ketentuan Pasal 7 huruf a angka 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dimana yang mensyaratkan minimal 20 tahun pengalaman sebagai hakim untuk dapat dicalonkan sebagai Hakim Agung.
Berdasarkan penelusuran melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2019, yang merupakan tahun pertama CHA khusus pajak ini melaporkan kekayaannya sebagai Hakim. Masa kerja yang bersangkutan sebagai Hakim Pengadilan Pajak baru dimulai pada tahun tersebut. Artinya, hingga tahun 2025, yang bersangkutan baru memiliki pengalaman selama 6 (enam) tahun sebagai hakim. Hal ini jauh dari syarat minimal yang ditentukan undang-undang.
Penyimpangan dan Pelaksanaan Fungsi Peradilan
Selain dari aspek formil tersebut, ditemukan pula berbagai penyimpangan dalam pelaksanaan fungsi peradilan yang dilakukan oleh CHA khusus pajak ini. Salah satunya adalah penolakan terhadap pembacaan ulang Penetapan Ketua Pengadilan Pajak mengenai susunan Majelis Hakim dan Panitera dalam perkara pajak Nomor 008831.99/2024/PP. Padahal ketentuan Pasal 17 ayat (1) PER-03/PP/2016 secara eksplisit menyatakan bahwa pembacaan tersebut wajib dilakukan pada sidang pertama.
Lebih lanjut, CHA khusus pajak juga dinilai telah melaksanakan sidang secara prematur, yaitu sebelum tuntasnya proses jawaban dan bantahan antar pihak. Padahal, hukum acara dalam Pasal 45 dan Pasal 48 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Mengatur bahwa sidang pemeriksaan harus dilakukan setelah prosedur administratif selesai dan dalam waktu 3 bulan sejak diterimanya gugatan.
Tidak hanya itu, hak publik untuk memperoleh akses terhadap persidangan terbuka pun turut diabaikan. Permohonan liputan audio visual yang telah diajukan secara tertulis oleh pihak Penggugat ditolak secara sepihak tanpa disertai alasan hukum yang jelas. Bahkan berujung pada pengusiran pihak Penggugat dari ruang sidang. Hal ini bertentangan dengan asas keterbukaan persidangan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) UU Pengadilan Pajak dan Pasal 9 PER-03/PP/2016.
Dari aspek substansi hukum, CHA khusus pajak juga telah menolak permohonan gugatan dalam perkara kepabeanan dengan alasan tidak terdapat dasar hukum pengajuan gugatan dalam UU Kepabeanan. Padahal, Pasal 49 UU KUP secara tegas menyatakan bahwa ketentuan dalam UU KUP. Dimana berlaku juga bagi undang-undang perpajakan lainnya, termasuk dalam hal ini kepabeanan. Karenanya dapat dijadikan dasar untuk pengajuan gugatan administrasi.
Kekuasaan Kehakiman dan Pengadilan Pajak
Penolakan pemeriksaan perkara dengan alasan “tidak ada hukum yang mengatur” merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak. Serta pelanggaran terhadap Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, yang mengamanatkan bahwa pengadilan tidak boleh menolak memeriksa perkara hanya karena hukum tidak ada atau kurang jelas.
Akhirnya, penunjukan saksi yang tidak memenuhi unsur kualifikasi saksi fakta, serta potensi benturan kepentingan karena saksi berasal dari instansi tergugat. Merupakan pelanggaran terhadap Pasal 73 UU Pengadilan Pajak, yang menyatakan bahwa kesaksian hanya dapat dijadikan alat bukti. Jika berkaitan langsung dengan apa yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri oleh saksi.
Dalam konteks pengawasan etik dan profesionalisme hakim, tindakan-tindakan di atas jelas berpotensi melanggar prinsip “Arif dan Bijaksana” serta “Profesional”. Sebagaimana tertuang dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Seharusnya menjadi dasar untuk evaluasi mendalam terhadap pencalonan yang bersangkutan.
Sebagai negara hukum yang demokratis, pencalonan Hakim Agung semestinya tidak hanya memenuhi syarat administratif, tetapi juga mencerminkan integritas, kapabilitas, dan komitmen terhadap asas keadilan dan keterbukaan. Segala bentuk manipulasi, pengabaian prosedur, dan penafsiran hukum yang menyimpang. Demi kenyamanan internal harus ditolak demi menjaga wibawa lembaga peradilan dan kepercayaan publik.
Penulis: Fhilipo