beritax.id – Ekonomi Indonesia kerap dipamerkan melalui angka-angka pertumbuhan, grafik optimistis, dan klaim stabilitas makro. Namun di balik laporan resmi tersebut, realitas yang dirasakan rakyat justru berbanding terbalik. Harga kebutuhan pokok terus naik, upah stagnan, lapangan kerja menyempit, sementara daya beli masyarakat semakin melemah.
Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah berulang kali menyampaikan kabar baik soal pertumbuhan ekonomi. Namun pertumbuhan itu terasa lama berputar di sektor tertentu dan dinikmati kelompok terbatas. Bagi buruh, petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil, pertumbuhan ekonomi belum menjelma menjadi kesejahteraan nyata.
Statistik Stabil, Kehidupan Nyata Tidak
Di atas kertas, inflasi disebut terkendali dan konsumsi rumah tangga dinilai membaik. Tetapi di lapangan, rakyat justru dipaksa mengencangkan ikat pinggang. Biaya pendidikan, kesehatan, transportasi, dan pangan meningkat lebih cepat dibanding pendapatan. Ketika statistik menjadi alat pembenaran, penderitaan rakyat kerap dianggap anomali.
Fokus berlebihan pada indikator makro membuat negara kurang peka terhadap tekanan mikro yang dialami masyarakat. Kebijakan fiskal dan ekonomi lebih diarahkan menjaga kepercayaan pasar dan investor, sementara perlindungan terhadap daya beli rakyat menjadi urusan sekunder.
Tanggapan Prayogi R. Saputra: Pertumbuhan Tanpa Keadilan adalah Ilusi
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R. Saputra, menilai kondisi ini sebagai sinyal bahwa orientasi ekonomi negara sedang keliru arah.
“Pertumbuhan ekonomi yang tidak dirasakan rakyat hanyalah ilusi statistik. Negara tidak boleh puas dengan angka jika dompet rakyat justru mengering,” tegas Prayogi.
Ia kembali menegaskan fungsi utama negara yang sering dilupakan dalam kebijakan ekonomi.
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika ekonomi tumbuh tapi rakyat tidak terlindungi, tidak terlayani, dan justru diatur dengan beban, maka ada yang salah dalam cara negara bekerja,” ujarnya.
Rakyat Menanggung Beban, Keuntungan Terkonsentrasi
Prayogi menambahkan bahwa ketimpangan ini memperlihatkan distribusi hasil pembangunan yang tidak adil. Keuntungan ekonomi terkonsentrasi di atas, sementara risiko inflasi dan perlambatan daya beli ditanggung masyarakat luas.
“Ekonomi seharusnya menjadi alat pemerataan kesejahteraan, bukan sekadar mesin akumulasi keuntungan segelintir pihak,” tambahnya.
Solusi: Mengubah Arah Ekonomi agar Berpihak pada Rakyat
Untuk memastikan pertumbuhan ekonomi benar-benar berdampak pada kehidupan rakyat, beberapa langkah mendesak perlu dilakukan:
- Menjadikan daya beli rakyat sebagai indikator utama keberhasilan ekonomi
- Memperkuat perlindungan upah dan pendapatan pekerja
- Menekan harga kebutuhan pokok melalui kebijakan distribusi yang adil
- Mengalihkan insentif ekonomi dari sektor penguasa ke ekonomi rakyat
- Menyelaraskan kebijakan fiskal dengan kebutuhan riil masyarakat bawah
Ekonomi tidak boleh berhenti sebagai laporan tahunan dan klaim keberhasilan di podium. Selama pertumbuhan hanya hidup di atas kertas dan tidak hadir di dompet rakyat, maka ekonomi kehilangan makna sosialnya. Negara wajib memastikan bahwa setiap angka pertumbuhan berarti satu langkah nyata menuju kesejahteraan rakyat.



